Bagaimana Mengelola Post Power Syndrome


Post power syndrome adalah gejala psikologis yang di alami seseorang yang kehilangan jabatan atau kekuasaan. Orang yang mengalami gejala psikologis seperti ini tidak bisa menerima kenyataan kalau jabatan atau kekuasaan yang pernah dipegangnya digantikan oleh orang lain.

Post power syndrome timbul akibat ketidakmampuan seseorang untuk melepaskan diri dari belenggu masa lalu, khususnya bila masa lalu itu sangat membanggakan egonya. Ia sulit menerima kenyataan bahwa kini ia tidak berkuasa lagi dan kehilangan berbagai privilege yang dulu diterimanya.

Orang yang mengalami gejala post power syndrome biasanya sangat mengelu -elukan jabatannya, sehingga ketika suatu saat jabatan tersebut harus digantikan orang lain ia tidak bisa menerima, resah-gelisah dan merasa tidak ada sumber penghasilan selain disitu. Bahkan orang tersebut bisa jatuh sakit.

Orang yang mengalami post power syndrome enggan melangkah menuju tahap penerimaan (acceptance); bahwa roda kehidupan selalu berputar, kadang di atas dan kadang di bawah; bahwa segala sesuatu di dunia ini ada masa kedaluwarsanya, termasuk jabatan dan kekuasaan.

Untuk masa sekarang, mungkin masih lebih banyak kaum pria yang mengalami sindroma ini. Tapi, tak lama lagi pasti akan makin banyak wanita yang juga mengalaminya, seiring makin banyak wanita yang menempati posisi penting di berbagai institusi.

Sindroma ini akan makin parah seiring kemampuan fisik orang yang mengalaminya juga makin terbatas akibat usia tua. Misalnya, penglihatan dan pendengaran tidak lagi tajam, menderita kelumpuhan, atau harus berdiet ketat karena menderita berbagai penyakit, yang membuatnya semakin frustrasi bahkan depresi. 
Karena itu, sesungguhnya yang tersiksa bukan hanya anak-anak atau orang-orang di sekelilingnya, tapi juga dirinya sendiri. Bahkan mungkin lebih menderita.

****

Namun, tidak semua orang yang pernah berkuasa mengalami post power syndrome di masa tuanya. Banyak juga orang yang mampu menerima ‘masa redup matahari’-nya dengan ikhlas dan apa adanya.

Apakah faktor kepribadian seseorang ikut memengaruhi? 
Kata psikolog, bisa ya, bisa tidak. Sebab, kita tidak pernah tahu bagaimana ‘kelakuan’ kita kalau tua nanti, sampai kita mengalaminya sendiri. Bisa terjadi orang yang sebelumnya dikenal sabar dan nrimo, setelah tua –ketika semua ‘rem’ sudah tidak pakem lagi— berubah jadi tukang marah-marah. Atau justru sebaliknya, orang yang dulunya ‘sulit’ malah menjadi ‘jinak’ di masa tuanya. Tapi memang tidak ada salahnya sejak sekarang –selagi masih cukup muda— kita mulai melatih diri untuk ikhlas menerima cobaan hidup apa pun.

Kalau perilaku anak kita bermasalah, sebagai orang tua kita bisa melakukan banyak hal untuk mengatasinya. Mulai dari menasihatinya, memarahinya, berkonsultasi pada gurunya, atau mendatangi psikolog anak. Tapi bila orang tua kita yang ‘bermasalah’, tentu tidak semudah itu menasihati atau mengajak mereka berkonsultasi ke psikolog. Apalagi selama ini ada anggapan umum bahwa kalau seseorang diajak ke psikolog berarti dia gila, atau tidak beres jiwanya.

Selain itu, biasanya ada egoisme tersendiri pada setiap orang tua. Meskipun berpendidikan akademis lebih rendah —mereka merasa lebih tahu dan berpengalaman tentang kehidupan dibandingkan anak-anaknya. Dan di mata orang tua, anak tetaplah anak, meski sang anak kini telah dewasa dan berkeluarga. 
Jadi, wajar saja bila ada orang tua yang enggan menerima nasihat dan masukan dari anaknya, sekalipun nasihat dan masukan itu baik dan membangun.

Meminta bantuan dari orang-orang yang dihormati oleh orang tua kita --- misalnya ustadz atau kyai atau orang yang dituakan dalam keluarga besar --- untuk membimbing orang tua kita agar menjadi lebih ikhlas menerima keadaan pasca berkuasa, tentu layak dicoba.

Begitu juga dengan upaya berkonsultasi ke psikolog. Tapi kalau merasa perlu berkonsultasi ke psikolog, sebaiknya datang bersama-sama. Rancanglah skenario sedemikian rupa, supaya orang tua tidak merasa bahwa dialah sang ‘tertuduh utama’, melainkan justru sebagai orang yang diperlukan nasihatnya.

Bila semua usaha tetap tidak membuahkan hasil, satu-satunya cara yang bisa dilakukan anak adalah ikhlas menerima kondisi orang tua apa adanya, dengan semua kerewelannya.

****

Untuk menghindari gejala post power syndrome alangkah baiknya jika Anda melakukan saran sebagai berikut :
1. Anda harus menyadari bahwa jabatan atau kekuasaan yang anda pegang punya batasan waktu, dan anda akan lebih bisa menerima jika suatu saat digantikan orang lain.
2. Anda harus yakin bahwa masih ada sumber penghasilan lain, selain di tempat itu.
3. Jangan mengelu-elukan jabatan yang pernah anda pegang. Supaya jika suatu saat anda kembali pada lingkungan asal, anda akan mudah terbiasa. Karena masyarakat sudah tidak memanggil anda dengan nama jabatan tapi memanggil dengan nama Anda.

Kisah Khalid bin Walid juga layak jadi renungan.....

Bahwa Khalid bin Walid juga dulu diturunkan jabatannya dari seorang jenderal perang yang banyak memenangkan pertempuran menjadi prajurit biasa oleh Khalifah Umar bin Khattab, tapi Khalid bin Walid tidak tersinggung dan terus saja berjuang dan "mengabdi".

Ya sudah. Jabatan, kemewahan adalah titipan Allah. Lagi pula dalam kamus seorang muslim sejati memang tidak pernah mengenal istilah post power syndrome.

Muslim sejati tak mengenal post power syndrome, sebab hidup itu ibarat roda yang terus berputar. Berasal dari tanah pasti akan kembali kepada tanah.

Semoga kita diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi segala cobaan dan ujian.

Allah tidak akan memberi ujian dan cobaan diluar kemampuan hambaNya. Dan Allah lebih tahu kita, dibanding diri kita sendiri.

"Bukanlah kekayaan diukur dengan banyaknya kemewahan harta yang dimiliki. Namun kaya hati, yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari Muslim).

Semoga bermanfaat....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar