Masjid dan Kejayaan Islam : Mengembalikan Fungsi Masjid


Kata "masjid" dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali dalam Al-Quranul Karim. Berasal dari akar kata “sajada-yasjudu-sujudan”, yang secara etimologis berarti tunduk, patuh dengan mengakui segala kekurangan, kelemahan dihadapan Yang Maha Kuasa dan Sempurna. 

Rasulullah SAW berkata dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim: “Yang paling dekat keadaan salah seorang diantara kamu dari Tuhannya adalah ketika ia sujud.” Jika sujud adalah situasi dan posisi seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya, maka masjid secara bahasa berarti: tempat atau wahana seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub). 

Dalam al Qur’an kata “sujud” digunakan untuk beberapa makna, diantaranya bermakna sebagai penghormatan dan pengakuan atas kelebihan pihak lain, seperti perintah Allah kepada Malaikat untuk “sujud” kepada Adam (QS. Al-Baqarah’34). Taqarrub adalah merupakan misi/sasaran inti dari ibadah. Maka, masjid secara etimologis adalah tempat untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, disamping ia juga adalah sebagai pusat ibadah, baik mahdhah maupun ghairu mahdhah. Dengan pendekatan kebahasaan tersebut kita dapat merumuskan bahwa masjid secara terminologis adalah: suatu badan (institusi) yang diperuntukkan sebagai pusat ibadah dari orang-orang mukmin, dimana sentral kegiatan mereka berpusat disana, mulai dari kegiatan menghambakan diri kepada Allah SWT sampai kepada perjuangan hidup yang berdimensi dunia semata. 

Dari sinilah dapat kita memahami bahwa sebutan masjid, sesungguhnya orientasi fungsinya harus lebih menonjol ketimbang orientasi fisik bangunannya seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Isra' dimana tatkala Allah SWT menerangkan peristiwa Isra' nabi Muhammad SAW disebut dari masjid Al-Haram ke masjid Al-Aqsa, padahal secara fisik masjid yang disebutkan belum ada seperti yang dapat kita saksikan sekarang. Allah berfirman dalam Al-Quran: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu kepunyaan Allah SWT, maka janganlah kamu menyeru seseorang beserta-Nya.” (Q.S. Al-Jin (72):18). 

Salah satu keistimewaan dari syariat Muhammad SAW dibanding nabi lainnya, adalah "seluruh bumi dapat dijadikan masjid". Berangkat dari pengertian-pengertian tadi, kita dapat memahami betapa sentralnya peran masjid di tengah-tengah umat Islam, dia menjadi pusat aktivitas dan kegiatan mereka, baik dalam bentuk ibadah khusus (ritual) maupun ibadah umum (sosial) dan hal-hal ini telah dicontohkan sendiri oleh Rasulullah SAW sejak di masjid Quba sampai di masjid Nabawi di Madinah. Barangkali berangkat dari ayat inilah, maka muncul sebutan Baitullah (rumah Allah) untuk menyebut masjid. Tentu saja dalam arti kiasan (majazi) bukan berarti secara fisik Allah SWT bertempat tinggal di masjid, karena Dia tidak terikat ruang dan waktu. Mengingat artinya adalah kiasan, maka pengertiannya bisa banyak: rumah tempat memohon rahmat Allah, rumah tempat memperoleh rahmat Allah SWT, rumah tempat meminta kepada Allah SWT, dan sebagainya sejauh yang dapat dikandung oleh pengertian peran dan fungsi.

Masjid di Zaman Nabi

Ketika Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid kecil dengan bangunan fisik yang sangat sederhana, yang berlantaikan tanah, dinding dan atapnya dari pelepah kurma. Namun demikian, masjid tersebut memainkan peranan yang sangat signifikan dan menjalankan multi fungsi dalam pembinaan umat. Dari sana beliau membangun masjid yang besar, membangun dunia ini, sehingga kota tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah 'tempat peradaban', atau paling tidak, dari tempat tersebut lahir benih peradaban baru umat manusia yang akan menciptakan kehidupan yang harmonis.

Berikut adalah 5 (lima) fungsi masjid ketika masa Rasulullah SAW:

Pertama, Fungsi Dakwah. Ini adalah dasar dari fungsi masjid, sebab kata “dakwah” dalam sudut pandang filosofis bermakna, segenap upaya untuk memanusiakan manusia seutuhnya sesuai dengan sendi-sendi keislaman. Ini mungkin dekat dengan fungsi pendidikan, namun jelas bermakna bahwa dakwah dilakukan dengan beragam cara, baik transformasi, transmisi serta yang paling utama adalah internalisasi (pendalaman) ajaran agama Islam secara kaffah.

Termasuk mengatur strategi perang dan berbagai persiapannya untuk kepentingan dakwah yang lebih luas. Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib. Masjid juga digunakan sebagai tempat bertemunya pemimpin (pemerintah) dengan rakyatnya untuk bermusyawarah membicarakan berbagai kepentingan bersama. Di masjid juga Nabi menerima delegasi atau tamu dari luar negeri dan mengirim utusannya ke luar negeri, sebagai pusat penerangan dan pembelaan agama.

Kedua, Fungsi Pendidikan. Di masjid Nabi mendidik para sahabatnya dan mengajarkan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Dari pembinaan yang dilakukan Rasulullah di masjid itu lahirlah tokoh-tokoh yang berjasa dalam pengembangan Islam ke seantero penjuru dunia, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin al-Khatab, Usman bin 'Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Di masjid para dai dilatih untuk kemudian dikirim ke berbagai wilayah untuk mengajarkan Islam kepada masyarakatnya.

Masjid juga berfungsi sebagai asrama untuk para pelajar suffah yang tinggal menetap untuk belajar. Masjid ketika itu menjadi pusat pengembangan kebudayaan dalam semua aspek kehidupan menuju masyarakat beradab. Tidaklah mengherankan bila pada masa selanjutnya masjid menjadi pusat berkembangnya ilmu-ilmu keislaman. Misalnya, universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang terkenal itu, pada mulanya merupakan kegiatan belajar-mengajar di Masjid Al-Azhar yang dibangun pada masa Dinasti Fatimiyah. Hal terpenting lain yang kadang kita abaikan adalah fungsi masjid dalam mendidik anak-anak sejak usia sedini mungkin.

Mari kita renungkan ucapan Sultan Muhammad Al Fatih (Sang Penakluk Konstantinopel): "Jika suatu masa kelak kamu tidak lagi mendengar bunyi bising gelak ketawa kanak-kanak riang diantara shaf-shaf shalat di masjid-masjid, maka sesungguhnya takut lah kalian akan kejatuhan generasi muda kalian masa itu." Untuk itu jangan pernah memarahi anak yang sedang asyik bermain di dalam Masjid. Karena bisa jadi dengan cara ini lah dia akan mencintai Masjid. Dan saat dewasa, dia akan menjaga dan menghidupkan masjid.

Ketiga, Fungsi Ekonomi. Di masjid dibangun Baitul Maal yang salah satunya berfungsi untuk menghidupkan roda perekonomian umat. Nabi melarang setiap muslim melakukan praktik jual beli di dalam masjid. Namun, aktivitas jual beli yang dilakukan di luar masjid dan tidak mengganggu ibadah shalat dibolehkan oleh para ulama berdasarkan firman Allah dalam surat al- Jumu'ah ayat 10: ”Bila shalat (Jumat) telah selesai didirikan, maka bertebaranlah kamu di permukaan bumi ini, carilah karunia (rizki) Allah dan perbanyaklah mengingat Allah.”

Keempat, Fungsi Sosial. Masalah pernikahan, perceraian, perdamaian, dan penyelesaian sengketa masyarakat, semuanya diselesaikan di masjid. Orang-orang yang terluka dalam peperangan juga diobati di masjid. Baitul Maal di masjid juga dapat berfungsi membantu fakir miskin yang sangat membutuhkan bantuan sosial. Di masjid juga masyarakat berinteraksi sehingga terbangun dan terjalin ukhuwah Islamiyah yang kokoh.

Kelima, Fungsi Ibadah. Ini bukanlah fungsi terakhir, namun adalah fungsi utama. Yang merangkum keseluruhan fungsi masjid diatas. Dengan demikian, bermakna bahwa setiap kegiatan yang dilakukan di Masjid haruslah mengandung unsur dan nilai ibadah sebagai bagian dari melaksanakan perintah Allah SWT. Masjid di zaman Nabi merupakan pusat pembinaan ruhiyah (tarbiyah ruhiyah) umat Islam.

Di masjid ini ditegakkan shalat lima waktu secara berjamaah. Masjid berperan untuk membina dan meningkatkan kekuatan ruhiyah (keimanan) umatnya. Masjid sebenarnya merupakan “kolam-kolam spiritual” yang akan menghilangkan dahaga spiritual setiap muslim. Tujuan didirikannya suatu masjid tercermin dalam kalimat-kalimat adzan yang dikumandangkan oleh muadzin. Ketika adzan dikumandangkan setiap muslim diperintahkan untuk menjawab/memenuhi panggilan itu dan meninggalkan segala aktivitas lainnya.

Tujuan mendirikan shalat adalah untuk mengingat Allah, “aqimish shalaata li dzikrii” (QS.Thaha: 14). Mengingat Allah merupakan cara yang tepat untuk memperoleh ketenangan jiwa dan pikiran, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS.Ar-Ra'du: 28).

Oleh karena itu, masjid merupakan tempat yang ideal untuk menenangkan hati dan pikiran. Di zaman modern ini banyak orang yang hidup gelisah, banyak harta dikorbankan dan berbagai cara dilakukannya untuk memperoleh ketenangan, namun ketenangan yang dicari tak kunjung datang. Dengan potensi yang sangat besar tersebut, menjadi pekerjaan rumah umat Islam saat ini adalah mengembalikan fungsi masjid seperti pada zaman Nabi Muhammad SAW yaitu menjadikan masjid sebagai pusat gravitasi perubahan.

Masjid dalam Arus Globalisasi

Islam sebagai agama universal ditakdirkan sesuai dengan tuntutan zaman. Islam sempurna sebagai sumber dari segala sumber. Di dalam Islam terdapat sumber dasar kesempurnaan tersebut yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua pusaka tersebut memuat berbagai segala sumber nilai yang dapat dijadikan patokan dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, untuk memahami Islam seutuhnya (al-kaaffah) tidak bisa sepotong-potong. Dan masjid merupakan sarana untuk pemahaman serta pendalaman berbagai aspek keislaman tersebut.

Jika ditelisik dan dikritisi lebih mendalam, maka akan kita dapati bahwa peranan masjid mulai tergeser dari kedudukan semula, yakni masjid sebagai tiang utama agama Islam, pencetak generasi umat unggulan, dan masjid juga turut menentukan semaraknya syi’ar Islam. Di masjidlah umat Islam sujud, meningkatkan kualitas ketakwaan, dan menyelesaikan berbagai persoalan umat. Inilah signifikansi masjid yang sesungguhnya, dan itulah masjid difungsikan di zaman Rasulullah SAW, sebagaimana dipaparkan diatas.

Terjadinya pergeseran fungsi masjid pada saat ini tentu menjadi sebuah keprihatinan tersendiri. Apalagi saat ini kita sedang dalam masa globlalisasi. Era yang ditandai dengan gencarnya pembangunan menyeluruh dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan arus informasi sebagai aras utamanya. Salah satu tujuannya adalah mengangkat harkat dan martabat manusia sehingga dapat menciptakan kehidupan sejahtera dan ideal.

Era globlalisasi mempunyai karakteristik tersendiri, yakni produktifitas dan efektivitas. Dengan demikian menjadikan persaingan begitu ketat. Barangsiapa mampu bersaing, maka ia akan menjadi pemenang. Akhirnya, salah satu hal atau sikap yang begitu kentara dalam era ini adalah tingginya individualisme.

Pada satu sisi, era ini membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia. Sebutlah lunturnya budaya lokal karena tergerus arus budaya luar yang begitu dominan dan dijadikan panutan. Praktik hidup bebas, lunturnya budaya gotong-royong, melekatnya sikap pragmatisme, hedonis dan bergesernya orientasi nilai-nilai agama yang dianut adalah akibat dari arus globlalisasi tersebut.

Pada sisi lain, era ini juga menghembuskan virus-virus positif berupa kesanggupan melahirkan masyarakat kreatif, berwawasan luas, terpenuhinya kebutuhan dan lain sebagainya. Mestinya, setelah masjid berdiri, masjidlah yang “membangun umat”. Jadi, awalnya umat “membangun masjid”, selanjutnya yang “membangun umat” adalah masjid, melalui intensifikasi berbagai kegiatan dalam masjid, dan terpenting menghadirkan masjid sebagaimana fungsinya di zaman Rasulullah SAW.

Catatan Akhir

Sudah saatnya umat Islam bangkit dari keterpurukan. Dan masjid adalah salah satu sarana melahirkan umat yang haus dan gandrung akan kejayaan Islam di masa sekarang, akan datang dan selamanya. 

Dari masjid harus dilahirkan "Generasi al-Maidah", generasi yang cinta Islam dan siap berjuang demi Islam dan kejayaan Islam : … Allah kelak akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencitai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendak-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Maidah : 54).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar