60 Tahun Indonesia Merdeka : Sebuah Catatan



Tanggal 17 Agustus 2005, Indonesia memasuki usianya yang ke-60 tahun. Artinya, sudah selama 60 tahun pula bangsa yang dikenal multi etnik ini membangun untuk mengisi kemerdekaan yang telah diperolehnya. Para pendiri (founding fathers) republik tercinta ini, telah mewariskan kepada kita semua tugas dan tanggung jawab untuk membesarkan bangsa ini dalam kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan.

Mengisi makna hakiki kemerdekaan, tidak cukup dengan sekedar kegiatan seremonial, upacara, renungan suci dan menaikkan bendera merah putih sampai ke ujung tiang. Makna merdeka seyogianya kita terjemahkan sebagai komitmen untuk tetap konsisten meneruskan cita-cita para pendiri republik ini. Karena pengorbanan dan sikap kepahlawanan merekalah saat ini kita dapat menikmati kemerdekaan.

Ada beberapa catatan penting yang harus kita cermati, agar kita menjadi bangsa yang pintar berterimakasih dan tahu bagaimana menghargai nilai-nilai kepahlawanan.

Pertama, pengubahan paradigma pembangunan yang berorientasi pada pendidikan. Di negara manapun, pendidikan menjadi sektor yang paling penting. Rakyat tidak mungkin dapat hidup berdemokrasi secara sejati, bila mereka hidup dalam kebodohan. Paradigma pembangunan inilah yang dapat mendongkrak keterpurukan bangsa ini. Catatan penting untuk kita ketahui, bahwa indeks pendidikan kita terus merosot. Kalau pemerintah tidak mengantisipasinya, pendidikan kita bisa dikalahkan Laos dan Kamboja. Saat ini saja, kita sudah kalah dengan Vietnam. Padahal, Vietnam adalah negara yang baru bangkit dari trauma perang melawan negara adi daya Amerika Serikat.

Sebagai bahan introspeksi, perlu kita ingat bagaimana gencarnya usaha Bung Hatta meyakinkan Bung Kamo untuk memprioritaskan bidang pendidikan. Namun sayang usahanya gagal. Bung Karno tetap bersikukuh menjadikan politik sebagai lokomotif dan panglima dalam pembangunan bangsa. Kenyataan sejarah membuktikan doktrin-doktrin politik Soekamo, seperti Nasakom, demokrasi terpirnpin, Manipol-usdek dan tema-tema lainnya telah menyeret republik tercinta ini ke lubang buaya. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S /PKl) merupakan catatan lembaran kelam bangsa Indonesia. Selanjutnya, kepemimpinan 32 tahun Soeharto juga mengulang kesalahan yang sama. Program pembangunan ekonomi (economic development) yang diwujudkan dalam program pembangunan lima tahun (pelita) mengalami kegagalan.

Pembangunan ekonomi yang dijalankannya melupakan posisi Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia saat itu masih lemah. Selain itu, modal, teknologi dan manajemen pun kurang memadai untuk melaksanakan konsep pembangunannya. Pendidikan yang seharusnya mendapat perhatian penting, justru cuma mendapat alokasi dana sekitar enam persen dari APBN. Rapuhnya pembangunan ekonomi era orde baru terbukti. Krisis moneter dan ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, telah memporak-porandakan program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Perekonomian bangsa ini hampir lumpuh, karena terjerat utang luar negeri yang jumlahnya hampir di luar rasio kebiasaan. Tidak bermaksud mencibir para pemimpin bangsa ini, tapi hal ini sekedar catatan untuk memperingati 60 tahun Indonesia merdeka. Tujuannya adalah, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama yang terjadi di masa silam. Sebab, siapa pun dan bagaimanapun presiden yang telah memimpin bangsa ini adalah anak bangsa yang telah berjasa membesarkan republik tercinta.

Mari kita lihat dan bandingkan Indonesia dengan negara jiran Malaysia. Pada awal tahun 1970an, mereka mengimpor guru-guru dan dosen-dosen dari Indonesia. Tapi tidak lama kemudian, pada tahun 1980-an, Indonesia justeru berbalik berguru ke Malaysia. Bahkan kemajuan negeri melayu ini menjadi tujuan utama para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mencari pekerjaan.

Pertanyaannya adalah, kenapa mereka bisa mencapai kemajuan yang mencengangkan kita semua? Kuncinya adalah pendidikan telah menjadi agenda prioritas dalam pembangunan mereka. Pengalokasian dana untuk bidang pendidikan mencapai 20 hingga 25 persen dari APBN Malaysia. Bagaimana dengan kita Indonesia? Kapan pendidikan menjadi lokomotif utama dalam agenda pembangunan bangsa?

Kedua, pemerataan hasil pembangunan. Terjadinya gejala disintegrasi tidak terlepas karena adanya kesenjangan dalam pemerataan hasil pembangunan. sebagaimana yang terjadi di Aceh dan Papua. Pola sentralistik hingga kini masih sangat dominan, sementara daerah belum mendapatkan bagian yang proporsional kendati sudah diberlakukan UU otonomi daerah.

Lihat saja beberapa daerah yang kaya hasil alamnya, sebagian besar penduduk di sana hidup dalam kekurangan. Kasus Busang dan Freeport adalah contoh nyata bahwa kekayaan alam hanya dinikmati segelintir orang saja. Kalau kita boleh jujur, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia yang adiluhung, Pancasila belum secara konsisten diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inkonsistensi (bentuk kata negatif dari konsisten yang berarti tidak konsisten), merupakan perwujudan dari apa yang disebutdalam masyarakat sebagai sikap kemunafikan. Perbuatannya tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya.

Keberadaan negara kita yang kaya sumber daya alam (SDA), gemah ripah loh jenawi, seharusnya menjadi surga bagi rakyatnya. Tapi, pada kenyataannya jutaan rakyat di republik ini hidup kekurangan gizi, terkena busung lapar, dan sangat sulit mencari pekerjaan. Banyaknya rakyat yang tidak kebagian kue pembangunan, saat ini hendaknya menjadi catatan bahwa seluruh kekayaan negera hanya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat banyak. Bukan untuk memperkaya pribadi dan golongan.

Malu sekali rasanya kalau kita bercermin kepada sosok Bung Hatta yang tampil penuh wibawa, disegani dan dihormati karena sikap kesederhanaannya. Beliau pernah menderita di Digul yang penuh nyamuk malaria, demi kemerdekaan republik ini. Sungguh ia lakukan itu semua dengan penuh ketabahan yang luar biasa, lantaran kecintaannya kepada bangsa Indonesia. Sikap seperti inilah yang harus kita miliki untuk dalam melaksanakan program dan kebijakan.

Ketiga, menegakan civic morality. Civic morality adalah perwujudan moralitas dalam hidup berbangsa dan bernegara. Adanya praktek KKN dalam birokrasi pemerintahan adalah pertanda bahwa moralitas penyelenggara negara masih rendah. Menegakkan civic morality adalah prasyarat terbentuknya clean government (pemerintahan yang bersih).

Berbagai kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat, seperti korupsi di Komisi Pemilihan Umunl (KPU), korupsi pada penyelenggaraan ibadah haji, korupsi di lembaga legislatif dan masih banyak lagi kasus korupsi lainnya yang menjadi catatan penting bagi kita semua, bahwa aspek moral masih jauh dari harapan. Dan harapan itu hanya bias menjadi kenyataan, kalau ada tekad bersama untuk memberikan yang terbaik kepada bangsa ini. Tekad bersama itu harus kita mulai saat ini dan dari diri kita sendiri.

Keempat, transformasi pola pemerintahan. Pola pemerintahan harus berubah dari yang tadinya berorientasi kekuasaan ke pemerintahan yang mengedepankan pada kesejahteraan. Pada prinsipnya, semua komponen pemerintahan adalah para pamong rakyat dan bertugas memelihara dan mensejahterakan rakyat. Kesejahteraan adalah pilar penting yang sekian lama dilupakan dalam proses pembangunan. Sudah waktunya pada peringatan 60 tahun Indonesia merdeka ini, pemerintah mengangkat dan memperjuangkan nasib masyarakat yang sekian lama telah dipinggirkan.

Kelima, menegakkan supremasi hukum. Hingga kini, masyarakat kecewa melihat nasib penegakkan hukum yang diskriminatif. Rasa keadilan masyarakat kian memudar, bila melihat beberapa kasus pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi yang belum terjamah tangantangan hukum. Hukum hanya berlaku bagi orang kecil, sementara oknum pejabat dengan kekayaannya dapat memutarbalikan fakta sehingga terhindar dari pangadilan.

Keenam, perubahan orientasi pembangunan ekonomi dari bergantung kepada sektor luar negeri ke pemberdayaan dan penggalian potensi bangsa sendiri, baik SDM maupun SDA-nya. Hal ini sangat penting agar kita tidak menjadi kuli di negeri sendiri.

Catatan Akhir

Kita harus merapatkan barisan, bergandeng tangan mengisi makna 60 tahun Indonesia merdeka. Sebab, hanya dengan kebersamaan kita dapat mengatasi segala rintangan. Semua sikap egois, saling mencurigai, saling menjatuhkan harus kita singkirkan. Kita jelang Indonesia menjadi sebuah republik yang menjunjung tinggi makna hakiki kemerdekaan dalam kebersamaan sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar