Good Governance, Sebuah Keniscayaan

Gerakan reformasi 1998 telah membawa cakrawala baru dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia, yang selama 32 tahun tidak berubah dan cenderung stagnan. Karena itu, perubahan yang terjadi dipandang sebagai suatu langkah menuju terciptanya Indonesia baru di masa depan dengan dasar-dasar efisiensi dan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tuntutan reformasi itu sendiri datang dari dua arah, yaitu internal dan eksternal. Secara internal berasal dari masyarakat Indonesia sendiri sedang eksternal adalah konsekuensi sebagai bagian dari dinamika masyarakat global (global society).

Era Baru Pemerintahan

Dewasa ini di berbagai tempat terdapat kecenderungan umum adanya rasa tidak percaya (distrust) masyarakat kepada pemerintah. Sebagaimana yang diungkap Barzelay dalam bukunya “Breaking Throught Bureaucracy” (1982). Ia menyatakan bahwa masyarakat sudah bosan dan muak dengan birokrasi pemerintah yang bersifat rakus dan bekerja lamban. Situasi yang demikian dan desakan global telah membawa isu demokratisasi ke dalam sistem pemerintahan, dimana menempatkan rakyat pada posisi yang penting.

Perubahan paradigma tersebut telah mendorong munculnya gerakan baru yang dinamakan “gerakan masyarakat sipil” (civil society movement). Yang intinya adalah bagaimana membuat masyarakat menjadi lebih mampu dan mandiri guna memenuhi sebagian besar kepentingannya. Konsekuensi logis dari berkembangnya masyarakat sipil tersebut adalah semakin rampingnya bangunan birokrasi. Sebab sebagian pekerjaan pemerintah dapat dijalankan sendiri oleh masyarakat maupun dilaksanakan dengan pola kemitraan dalam rangka privatisasi. Oleh karena itu tidak salah bila Savas (1987) menyatakan bahwa privatisasi merupakan kunci menuju pemerintahan yang lebih baik. Sebab ketergantungan dengan institusi birokrasi pemerintah semakin terbatas. Artinya telah tercipta ketergantungan relatif (independency relative) masyarakat terhadap pemerintah. Namun, perubahan yang diharapkan terjadi dalam pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat ternyata tidak berjalan secara signifikan. 

Hal ini tak lepas dari sifat dan pengertian kata pemerintahan (government), yang memang harus memerintah. Padahal dengan memerintah maka akan terjadi hubungan yang bersifat hirarkis. Artinya pemerintah yang memerintah berada pada posisi diatas, sedang masyarakat yang diperintah selalu berada dibawah. Pola pikir (mindset) semacam ini telah diwariskan secara turun temurun, sistematis dan berkesinambungan, yang dilakukan secara intensif pada masa penjajahan dahulu dan terus berlanjut pada masa pemerintahan represif. Untuk itu guna mengubah pola hubungan pemerintah dengan masyarakat yang semula bersifat hirarkis menjadi heterarkis, diperlukan perubahan yang mendasar terhadap filosofi (philosophy) dan konsep berfikir (mindset) termasuk penciptaan istilah baru yang lebih tepat. Terkait dengan hal tersebut, World Bank dan UNDP (United Nation for Development Programme) mengembangkan satu istilah baru yaitu “governance” (tata pemerintahan) sebagai pendamping kata “government”. Istilah tersebut sekarang sedang sangat popular digunakan dikalangan akademisi maupun masyarakat luas.

Perubahan penggunaan istilah juga pengertiannya akan mengubah secara mendasar praktekpraktek penyelenggaraan pemerintahan di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Dan harapannya perubahan tersebut dapat mencakup tiga dimensi, yaitu dimensi struktural, fungsional dan kultural. Perubahan dimensi struktural menyangkut struktur hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Juga struktur hubungan antara eksekutif dengan legislatif, maupun struktur hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Sedangkan perubahan pada dimensi fungsional lebih menyangkut pada perubahan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun juga masyarakat. Dan untuk perubahan dimensi kultural menyangkut pada perubahan tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja intra organisasi, antar organisasi maupun ekstra organisasi. Diantara ketiga dimensi tersebut, yang paling sulit berubah adalah dimensi kultural, sebab memerlukan waktu dan perjuangan yang terus menerus. Perubahan kultural berkaitan erat dengan perubahan tata nilai, pola pikir, dan pola bertindak yang telah tertanam sejak awal. (Sadu Wasistiono, 2002)

Good Governance

Kata governance oleh World Bank diartikan sebagai „the way state power is used in managing economic and social resources for development society“. Dari pengertian yang seperti itu, dapat diperoleh gambaran bahwa governance adalah terkait dengan cara, yaitu cara bagaimana kekuasaan negara digunakan untuk mengelola sumberdaya-sumberdaya ekonomi dan sosial guna melakukan pembangunan masyarakat. Karena berkaitan dengan cara maka lebih menunjukan pada hal-hal yang bersifat teknis.

Sedangkan UNDP mendefinisikannya sebagai “the exercise of political, economic, and
administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Dengan demikian governance berarti penggunaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua tingkatan. Dengan pengertian demikian, maka governance ditopang oleh tiga pilar utama yaitu politik, ekonomi dan administrasi.

Pilar pertama yaitu tata pemerintahan di bidang politik dimaksudkan sebagai proses-proses pembuatan keputusan untuk memformulasikan kebijakan publik, baik dilakukan oleh birokrat sendiri atau oleh birokrat bersama dengan politisi. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan ini tidak hanya pada tataran implementasi saja seperti selama ini terjadi, namun mulai dari formulasi, implementasi dan juga evaluasi. 

Pilar kedua, yaitu tata pemerintahan di bidang ekonomi meliputi proses-proses pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi didalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Pada bidang ini, sektor pemerintah diharapkan tidak terlampau banyak terjun secara langsung karena akan menimbulkan distorsi mekanisme pasar. Pilar ketiga, yaitu tata pemerintahan dibidang administrasi adalah berisi implementasi proses kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi politik (LAN & BPKP, 2000)

Governance menurut UNDP terdiri atas tiga domain, yaitu : negara atau pemerintahan (state), sektor swasta atau dunia usaha (private sector), dan masyarakat (society), dan ketiga domain ini berada pada kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pemerintah dalam hal ini lebih banyak memainkan peranan sebagai pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sedangkan sektor swasta lebih fokus sebagai pengerak aktivitas di bidang ekonomi dan sektor masyarakat, obyek sekaligus subyek dari sektor pemerintah dan swasta. Sebab didalam masyarakatlah terjadi proses interaksi di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.

Prinsip-prinsip Good Governance

Governance yang dijalankan di ketiga domain tersebut, tidak sekedar jalan. Melainkan harus masuk kategori yang baik (good). Perpaduan antara kata good dan governance menimbulkan kosa kata baru yaitu good governance.

Berkaitan dengan good governance ini, UNDP mengajukan 9 (sembilan) prinsip atau karakteristik sebagai berikut:

Partisipasi (participation)

Masyarakat atau warga negara sebagai pemilik sah kedaulatan, mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun melalui institusi intermediasi seperti DPRD, LSM dan lainnya. Partisipasi yang diberikan dapat berbentuk pikiran, dana, tenaga maupun bentuk lainnya yang bermanfaat dan dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi saja, namun menyeluruh mulai dari penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya.

Penegakan Hukum (rule of law)

Salah satu syarat demokratisasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan dilaksanakan dengan tanpa pandang bulu. Sebab tanpa penegakan hukum, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, yang ada adalah anarkis. Tanpa penegakan hukum orang secara bebas dan semaunya untuk mencapai tujuan yang diinginkan tanpa memperhatikan dan mengindakan kepentingan orang lain. Oleh karena itu langkah awal penciptaan good governance adalah membangun system hukum yang sehat, baik perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware) maupun sumberdaya manusia yang menjalankan sistemnya (humanware).

Transparansi (transparancy)

Karakteristik berikutnya adalah transparansi. Karakteristik ini sejalan dengan semangat jaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi informasi. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan (stake holder) dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

Daya tanggap (responsiveness)

Sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, maka setiap komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance perlu memiliki daya tangap terhadap kepentingan maupun keluhan para pemegang saham (stake holder). Upaya peningkatan daya tanggap tersebut terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini cenderung tertutup, arogan serta berorientasi pada kekuasaan. Dan untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survey guna mengetahui tingkat kepuasan konsumen (customer satisfaction).

Berorientasi pada konsensus (consensus orientation)

Kegiatan bernegara, berpemerintahan, bermasyarakat pada dasarnya adalah aktivitas politik, yang berisi dua hal utama yaitu konflik dan konsensus. Dalam good governance, pengambilan keputusan maupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan pada konsensus, yang ditindaklanjuti dengan kesediaan untuk komitmen melaksanakan konsensus tersebut. Hal ini sebenarnya bukan hal baru bagi bangsa indonesia, sebab semangat musyawarah untuk mufakat telah lama terbentuk di masyarakat Indonesia.

Keadilan (equity)

Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi karena kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, maka sektor publik perlu memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring dan sejalan.

Efektifitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency)

Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan global, kegiatan ketiga domain good governance perlu mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektifitas dan efisiensi terutama pada sektor publik karena sektor inilah yang menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya kompetisi tidak akan tercapai efisiensi.

Akuntabilitas (accountability)

Prinsip kedelapan adalah akuntabilitas. Hal ini berdasar bahwa setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik maka harus mempertanggungjawabkannya kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja, melainkan juga kepada pemegang saham (stake holder), yakni masyarakat luas.
Secara teoritis , akuntabilitas sendiri dapat dibedakan menjadi lima macam (Jabar & Dwivedi, 1988), yaitu : a). Akuntabilitas organisasional administratif; b). Akuntabilitas legal; c). Akuntabilitas politik; d). Akuntabilitas profesional; e). Akuntabilitas moral.

Visi Strategis (strategic vision)

Di era yang perubahan terjadi dengan sangat dinamis seperti sekarang ini, setiap domain dalam good governance perlu memiliki visi strategis. Tanpa adanya visi semacam ini maka suatu bangsa mengalami ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lainnya. Visi itu sendiri dibedakan menjadi visi jangka panjang (long-term vision) antara 20 – 25 tahun dan visi jangka pendek (short--term vision) sekitar lima tahun.

Kesembilan karakteristik atau prinsip good governance diatas bersifat saling kait mengkait dan saling menguatkan. Pada negara yang sedang berkembang, dimana sektor swasta dan masyarakat belum berkembang rekatif belum maju, maka sektor pemerintah memegang peranan sangat penting dan menentukan. Sektor pemerintah harus mampu bertindak sebagai promotor pembangunan. Dan pada saatnya nanti apabila sektor swasta dan masyarakat sudah maju akibat pembangunan maka pernan sektor pemerintah mau tidak mau harus dikurangi secara bertahap. Tarik menarik peranan antara sektor pemerintah dengan sektor swasta dan masyarakat apabila tidak dikelola dengan baik dan bijak dapat menimbulkan ketegangan dimasyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemimpin yang memiliki dukungan legitimasi politik yang kuat, memiliki karisma serta kemampuan manajerial yang mumpuni untuk mengendalikan dan mengelola perubahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar