Belajar dari Claudio Ranieri, Sosok Di Balik Sukses Leicester City


Kancah persepakbolaan internasional kini tengah membicarakan sebuah klub yang dulunya dianggap underdog tetapi kini menjadi juara liga bergengsi sekelas liga premier Inggris. Ketika masuk ke liga tersebut, Leicester memang lebih sering menempati posisi dasar ketimbang posisi atas. Namun, siapa sangka jika klub yang bisa dikatakan berdana cekak itu mampu mendobrak kebiasaan lama dengan memuncaki klasemen dan memenangkan turnamen.

Kemenangan tersebut tentunya tidak lepas dari campur tangan seorang Claudio Ranieri, sang pelatih. Pria berkebangsaan Italia ini mampu menyejajarkan klub yang tadinya dianggap kacangan di antara klub-klub bertabur bintang di liga premier. Kisah keberhasilannya menciptakan sebuah dongeng klasik yang menjadi kenyataan, from zero to hero.

Kisah sukses di dunia olah raga, dapat diimplementasikan dalam hal bisnis dan kepemimpinan. Sir Alex Ferguson, mantan pelatih Manchester United yang fenomenal, kini memberikan kuliah beberapa pelajaran di Harvard University. Sedangkan Billy Beane, manajer klub baseball Oakland Athletic, menggunakan kepiawaiannya mengolah data statistik untuk diimplemetasikan dalam “big data”. Saat ini, ia duduk sebagai salah satu direksi Netsuite, salah satu perusahaan software di Amerika.

Lalu apa yang bisa dipelajari dari kepemimpinan seorang Ranieri? 

Yang paling nyata adalah, pertama, keberanian untuk belajar dari kesalahan.
Ketika masuk ke Leicester Juli tahun lalu, ia berusia 64 tahun dan sudah mengantongi pengalaman 30 tahun menjadi manajer di klub-klub lain. Selama itu, ia belum pernah mencatat prestasi yang berarti. Sepanjang karirnya, pencapaian terbesarnya adalah membawa Chelsea hampir menjadi juara meskipun pada akhirnya klub raksasa tersebut berakhir di posisi kedua kala itu.

Ranieri dikenal sebagai pelatih yang ragu-ragu ketika dihadapkan pada banyak pilihan. Bahkan, karena kebiasaannya tersebut ia dijuluki “The Tinkerman”. Namun, ia tidak mengulangi hal tersebut di Leicester City. Seorang pemimpin yang baik selalu belajar di sepanjang proses dan bahkan merayakan kegagalannya.

Seperti layaknya Walt Disney yang sudah gagal berkali-kali tetapi tetap tak menyerah hingga perusahaannya bisa menjadi sebesar saat ini. Sejalan itu, Bill Gates juga berkeyakinan bahwa kesuksesan adalah guru yang lebih payah dibandingkan kegagalan. Memang tidak mudah untuk menemukan “apa yang harus diubah”. Akan tetapi, Ranieri, disengaja atau memang sedang beruntung, telah sukses melakukan perubahan tersebut.

Pelajaran kepemimpinan kedua yang didapat dari seorang Ranieri adalah meskipun organisasi yang kita kelola bersumber dana kecil, kita dapat mengolah strategi yang telah sukses dilakukan organisasi besar. Leichester mengadopsi penggunaan teknologi yang telah dipakai sebelumnya oleh klub-klub besar dan menganalisis data tentang performa mereka. Dalam bisnis, kita mengenal big data yakni informasi-informasi baik kuantitatif maupun kualitatif yang dapat kita pergunakan sebagai landasan pengambilan keputusan. Sistem inipun semakin mudah digunakan dengan adanya bantuan teknologi.

Selanjutnya, Ranieri juga mengajarkan bahwa tidak sukses dalam suatu hal adalah baik jika kita bisa berfokus pada hal-hal yang lain. Tidak menang di beberapa pertandingan bergenre “cup” justru membuat Leichester semakin fokus untuk tampil sempurna di liga premier. Hal ini senada dengan proses sebuah bisnis. Kerap kali kita harus merelakan beberapa proyek sampingan untuk menyukseskan program utama perusahaan.

Terakhir, Ranieri juga mengajarkan bahwa ketika memimpin atau mengerjakan suatu pekerjaan, kita tidak boleh melupakan istilah “santai”. Ia sering membelikan “anak-anak asuhannya” makanan jika mereka berlatih dengan baik. Hal-hal kecil semacam itu ia manfaatkan untuk membangun kekeluargaan dalam tim. Ketika ekspektasi dan tuntutan tim semakin berat, seorang Ranieri justru mampu meredam ambisi para pemain.

Fenomena Leichester City memberikan arti penting bagi klub tersebut karena sebuah kemenangan yang dalam tim akan menularkan semangat bagi setiap orang di keseluruhan organisasi. Pada akhirnya, bukan hanya Ranieri yang menang, tetapi juga semua orang. Hal ini menjadikan sosok Ranieri tidak saja pemimpin yang baik, tetapi pemimpin hebat. 

Sumber : portalhr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar