Blora, Bumi Tua di Tanah Jawa


Menurut cerita rakyat, Blora berasal dari kata Belor yang berarti lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama Blora.

Secara etimologi Blora berasal dari kata Wai + Lorah. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah. Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata. Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata Wailorah menjadi Bailoran, dari Bailoran menjadi Balora dan kata Balora akhirnya menjadi Blora. Jadi nama Blora berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur (sumber : blorakab.go.id). 

****

Jejak peradaban di Blora meliputi masa pra sejarah, diantaranya ditandai oleh jejak evolusi manusia purba, manusia purba di Ngandong, dan Homo Erectus terakhir. Beralih ke masa klasik yang dipengaruhi tradisi Hindu-Budha berikut budaya batu dan budaya logam, dan banyaknya situs sejarah yang banyak di temukan di berbagai wilayah. Ini sebagai bukti jika peradaban Blora sudah ada sejak jutaan tahun silam.

Berbagai situs yang sudah ditemukan, yaitu situs Ngloram, Gua Sentono, Kuwung, Kutukan, Prasasti Genjen, Candi Getas, Getas Kedungtuban, Bengir, Gumeng, Gembyungan, Pengging Tapaan, dan Sumur Pitu. Ada juga situs Tapelan, Botoreco, Soronini, Bandungrejo, Canggah, Tanggal, Cabak, Gulingan, dan Kamolan. 

Potensi sejarah masa lalu yang dimiliki Blora, sampai para arkeolog menyimpulkan Blora sebagai situs purba. 

Sedikit dari warisan sejarah masa lalu Blora, bisa dilihat di Museum Mahameru, yang memiliki koleksi mulai dari masa pra sejarah, Hindu-Budha (klasik), Islam, hingga masa kolonial. 

****

Pada 2014, Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta berhasil menemukan bukti sejarah kehidupan manusia gua masa lampau yang bernilai tinggi bagi kajian arkeologi, geologi, dan paleoantropologi di Goa Kidang, Todanan, Blora. 

Penemuan itu di antaranya berupa artefak peralatan sehari-hari manusia gua masa lalu, yang terbuat dari cangkang kerang dan tulang. Mereka juga menemukan jejak penguburan pada kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. 

Di sekitar kerangka itu ditemukan pula susunan bongkahan batu gamping, remukan remis cangkang, batu gamping berwarna merah, dan fragmen vertebrata. Dari hasil uji karbon, usia kerangka itu diperkirakan 7.770 - 9.600 tahun.

Penemuan kerangka tersebut menegaskan keberadaan manusia prasejarah yang pernah menghuni gua-gua di pegunungan karst pada zaman Holosen (9560 - 9300 SM (http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/09/menjajaki-jejak-manusia-prasejarah-di-gua-kidang/1).

Gua Kidang berada di kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara yang berjarak 35 kilometer dari kota Blora. Gua itu berupa ceruk gunung karst sedalam kira-kira 15 meter dari permukaan tanah bukit karst. Untuk masuk ke gua harus menuruni jalan setapak di areal hutan jati. 

Gua itu mempunyai sirkulasi matahari yang baik dan ruangan luas dengan lebar mulut gua 18 meter. Di dalamnya ada ceruk- ceruk dengan stalaktit dan stalagmit. Dahulu, gua tersebut merupakan tempat keluarnya sungai bawah tanah purba.

Berdasarkan Laporan Penelitian Arkeologi: Pola Okupasi Gua-Gua Hunian Prasejarah Kawasan Pegunungan Kendeng Utara Kabupaten Blora (Balar Yogyakarta, 2005), pola adaptasi manusia karst Gua Kidang untuk mempertahankan hidupnya merujuk pada musim. Pada musim kemarau, mereka mengonsumsi binatang tak bertulang belakang, seperti aneka jenis kerang dan siput. Itu karena lingkungan sekitar mereka pada waktu itu berupa rawa-rawa. 

Pada zaman itu, Pegunungan Kendeng Utara merupakan kawasan perbukitan yang terbentuk dari penurunan permukaan laut dan di sekitarnya terdapat rawa-rawa dan sungai purba hasil pengendapan laut dangkal. Pada musim hujan, mereka mengonsumsi hewan bertulang belakang. Itu terbukti dari temuan artefak dan ekofak (sisa makanan) hewan darat, terutama kerbau purba.

****

Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional menetapkan Kabupaten Blora sebagai Kawasan Studi Purba. Pasalnya, sejumlah arkeolog banyak menemukan fosil-fosil dan peninggalan manusia purba di bekas endapan Sungai Bengawan Solo purba. 

Penetapan itu sendiri dilakukan dalam Seminar Pengelolaan Cagar Budaya di Blora, 9 Desember 2008.

Menurut Prof. Truman Simanjuntak, peneliti senior Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Blora memiliki sejarah hunian yang sangat panjang. Sejumlah arkeolog yang mengadakan penelitian di Blora dapat menemukan dan mempelajari evolusi lingkungan, manusia, dan budaya.

Dan fosil manusia purba yang terakhir, yaitu Homo Soloensis, justru ditemukan di Ngandong, Kecamatan Kradenan, Blora. 

Berdasarkan kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, di sepanjang daerah aliran Sungai Bengawan Solo di Blora terdapat 16 teras endapan yang membentang di Kecamatan Kradenan, Kedungtuban, dan Cepu. Salah satunya adalah teras Ngandong.

****

Blora dengan segala sejarah dan peradabannya. Apakah kemudian masyarakat Blora, khususnya generasi muda, cukup paham dan mengetahui tentang potensi dan sejarah masa lalu leluhurnya?

Inilah yang kemudian menjadi inspirasi sekawanan anak muda yang berhimpun dalam Yayasan Bangga Blora untuk menerbitkan Ensiklopedi Blora, yang konon membutuhkan biaya hingga Rp 3 miliar, sebagaimana dikutip dari laman facebook Ensiklopedi Blora. (https://www.facebook.com/Ensiklopedi-Blora-512307528946025/). 

Ensiklopedi Blora ini terdiri dari 10 jilid dan mengupas semua tentang Blora; sejarah Blora dari masa ke masa; geografi, geologi dan wilayah administrasi; pemerintahan, sosial dan ekonomi; adat istiadat, agama dan kepercayaan lokal; arsitektur, cagar budaya dan toponim; pariwisata dan kuliner; seni, tradisi dan karya budaya tradisional; pertanian, kehutanan dan lingkungan hidup; industri, pertambangan dan energi; serta tokoh, komunitas dan masyarakat.

Ensiklopedi Blora ini menjadikan Kabupaten Blora sebagai satu-satunya kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki ensiklopedi daerah. 

Adanya karya ensiklopedi ini, membuktikan bahwa tingkat peradaban masyarakat di Blora sudah cukup baik. Mestipun harus terus ditingkatkan sehingga mampu lebih banyak menciptakan karya cetak dan rekam.

Melihat sejarah dan peradaban Blora yang sedemikian tua, tak salah bila Blora kemudian disebut sebagai Blora, Bumi Tua di Tanah Jawa. 

Dan sudah semestinya Pemkab Blora mau mengelola potensi cagar budaya ini dengan baik sehingga Blora benar-benar menjadi kawasan studi arkeologi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar