The Real Terrorist : Siapakah Mereka?



Setiap kali ada peristiwa terorisme, selalu umat Islam dan Islam jadi pihak tertuduh. Ini sungguh tak adil dan menyakitkan. 
 
Jamak dipahami, pasca peristiwa 911, perang membasmi terorisme dilancarkan mantan presiden AS George W Bush di bawah bendera the war against terrorism. Terorisme dianggap sebagai sebuah ancaman besar bagi keberadaan dan keamanan AS juga bagi keamanan dunia internasional. Melalui isu ini, AS mengkampanyekan kepada dunia internasional untuk mendukung dan bersama AS memerangi terorisme dan jaringannya yang tersebar hampir diseluruh dunia.
 
Kampanye perang terhadap terorisme yang dilakukan oleh AS telah memicu ketegangan antara dunia Islam dan Barat. Kebijakan militer AS dengan arogansi militernya terhadap rakyat Afganistan, Iraq dan wilayah Timur Tengah lainnya telah menelan banyak korban sipil dari umat Islam yang tidak terhitung jumlahnya. 
 
Umat Islam sangat dirugikan dengan kampanye ini, yang selalu mengaitkan terorisme dengan gerakan Islam. Keadaan ini telah menciptakan berkembangnya phobia terhadap Islam, hingga menciptakan sebuah opini, Islam identik dengan terorisme.
 
Sejarah telah membuktikan. Gerakan teror yang dilakukan oleh individu, kelompok atau oknum, sudah sering terjadi jauh sebelum isu terorisme yang dikembangkan terhadap Islam, dan jauh lebih keji dari apa yang dialami oleh AS dalam tragedi WTC.
 
Fenomena ini menciptakan perdebatan, ketika ingin memahami makna terorisme sebenarnya, yang hingga hari ini belum ditemukan arti dari istilah itu sendiri. Menjadi tidak jelas siapa dan bagaimana hingga seseorang bisa dianggap sebagai teroris. Pada akhirnya, isu terorisme hanya terlihat sebagai sebuah legitimasi kepentingan pihak tertentu yang memiliki kekuasaan, dan dibantu oleh media dalam memberikan justifikasi terhadap terorisme yang belum jelas definisi dari istilah tersebut. (M. Bambang Pranowo, Orang Jawa Jadi Teroris. Pustaka Alfabet, 2011). 
 
*** 
 
Isu terorisme itu seksi. Sadar akan hal tersebut maka dikemas dan dimanfaatkan oleh intelijen sebagai upaya pengalihan isu sekaligus pengkerdilan umat Islam. Dengan membonceng isu terorisme akan membenamkan isu-isu lain yang berkembang. Sehingga sudah tertebak. Masyarakat menjadi abai, fungsi kritisnya mandeg, serta gerakan perlawanan pun menjadi terhenti karena tertutupi tabir terorisme. 
 
Hal yang janggal adalah ketika fungsi badan inteligen sebagai kamnas ini tidak berjalan, tidak mampu mendeteksi gerakan tersebut. Padahal gerakan ini tidak terlalu besar. Selanjutnya motif pemboman pun tidak jelas pesan apa yang disampaikan dan target ledakannya pun bukan tempat-tempat strategis.
 
Hal janggal lainnya, selalu dan selalu narasi dan skenario terorisme diungkap sepihak oleh kepolisian. Polisi dengan sangat detail mengetahui siapa pelakunya, dari jaringan mana, cara membuatnya, berikut daya ledaknya dan informasi detail lainnya. Dan kejanggalan akan semakin terlihat dikarenakan "tercecernya" KTP atau kartu data diri si pelaku yang tidak terbakar di TKP. 
 
Mengutip pendapat Ma'mun Murod Al-Barbasy, aktivis muda Muhammadiyah dalam artikelnya yang berjudul Teroris Nyata atau Pengalihan Isu : sebagai warga negara, saya punya hak konstitusi untuk bicara soal hal ini. Secara konstitusi saya dilindungi UUD NRI Tahun 1945 (ini penulisan yang benar) untuk mengkritisi semua kebijakan negara. Apalagi kalau negara mencoba tampil mendominasi dan menghegemoni masyarakat, maka kita mesti harus melawan hegemoni tersebut. Kita harus lawan setiap wacana dominan yang mencoba ditawarkan dan dilakukan oleh negara.
 
***
 
Benak publik masih merekam dengan baik. 27 April 2016 pagi, lima orang berbaju militer warga negara China tertangkap Tim Patroli TNI Angkatan Udara Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, karena memasuki area Halim Perdanakusuma tanpa izin. Kasus ini pun kemudian hilang bak ditelan bumi, setelah ada "intervensi" dari seorang petinggi negeri. 
 
Kembali publik tersentak. Dengan terbongkarnya penyelundupan puluhan kilo gram narkoba dari Ghuangzhou, China dengan cara memasukannya pada tiang pancang reklamasi Teluk Jakarta, pada 4 Juni 2016. 
 
Kasus lain yang melibatkan warga China adalah serbuan tenaga kerja ilegal asal China. 
 
Izin berwisata yang diberikan pemerintah malah disalahgunakan untuk bekerja. Serbuan tenaga kerja ilegal asal China ternyata sudah tak terbendung lagi. Mereka marak bekerja di proyek-proyek PLTU dan sektor pertambangan. Kebanyakan mereka adalah pekerja yang bekerja di proyek-proyek yang didanai oleh investor China. 
 
Berbagai kasus yang melibatkan warga China, memunculkan pertanyaan; kenapa pemerintah begitu bersemangat "menarik" wisatawan China ke Indonesia dengan target hingga 10 juta orang? Ada apa ini? 
 
Pertanyaan kritis ini selaras dengan data yang diungkap Aviliani, pengamat ekonomi, dalam acara penutupan Konferensi Internasional Federasi Asosiasi Ekonomi Asean (Federation of Asean Economic Association/FAEA) ke-41 di Yogyakarta, menurutnya saat ini di China terdapat 400 juta pengangguran yang bisa menjadi ancaman, karena mereka mengarah untuk bekerja ke Indonesia. 
 
*** 
 
Melihat data yang diungkap Aviliani diatas, menjadi tidak terlalu sulit untuk menarik kesimpulan bahwa berbagai kasus yang melibatkan warga China bukanlah kejadian apa adanya, hampir dapat dipastikan, rentetan kejadian itu merupakan peristiwa yang ada apanya. 
 
Kesimpulan ini diperkuat dengan tertangkapnya empat warga China karena menanam cabai yang mengandung bakteri berbahaya di Bogor. Aktivitas ini, tidak saja melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, terkait penyalahgunaan izin tinggal. Namun sudah termasuk subversif. Pakar Hukum Yusril Ihza Mahendra dengan tegas membenarkan bahwa aktivitas tersebut sudah masuk wilayah subversif. 
 
Dalam bahasa politik, kegiatan itu dapat digolongkan sebagai sebuah infiltrasi untuk meruntuhkan ekonomi suatu negara. 
 
Jadi siapakah yang sebenarnya teroris itu?
 
Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan ancaman China terhadap NKRI adalah nyata, bukan hanya teori.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar