Diseluruh
dunia, saat ini terdapat ratusan jumlah negara dan kita menyaksikan dua fenomena
kontras, yaitu : satu sisi terdapat negara maju dan makmur, disisi lain
terdapat negara terbelakang dan miskin. Dan ironisnya saat ini gap antara
negara kaya dan negara miskin semakin menganga.
Menurut
laporan World Development Report World Bank tahun 2004, rata-rata pendapatan 20
negara terkaya di dunia adalah 38 kali rata-rata pendapatan di 20 negara
termiskin. Dan jumlah ini telah meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan 40
tahun silam. (Budi Setiyono, 2014).
Ini
artinya, negara yang kaya semakin kaya dan negara miskin semakin miskin. Dalam laporan itu, menurut Budi Setiyono juga
mencatat bahwa sekitar seperempat penduduk dunia yang tercecer di negara-negara
miskin masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan jumlah pendapatan yang
kurang dari Rp 10.000 per hari.
Hal
ini menunjukkan bahwa eksistensi pemerintahan di negara-negara miskin tersebut
seolah-olah tidak menunjukkan manfaat apapun bagi rakyat.
***
Hingga
usia ke-70, negeri ini masih berkutat dengan kemiskinan. Kesejahteraan yang
menjadi cita-cita the founding fathers masih mudah diucapkan namun sulit
dirasakan.
Berdasar
data BPS, jumlah penduduk miskin pada tahun 2014 mencapai 28,28 juta jiwa
(11,25%), maka pada 2015 diprediksi menjadi 30,25 juta jiwa atau sekitar 12,25%
dari jumlah penduduk Indonesia. (Republika, 02 Januari 2015).
Kegagalan
memerangi kemiskinan sering kali disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memahami
karakterisktik kemiskinan itu sendiri.
Hingga
kini, kemiskinan masih dilihat sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup
secara ekonomi. Nyatanya, kemiskinan merupakan manisfestasi dari banyak
persoalan hidup manusia yang kompleks. Tak hanya mencakup aspek atau dimensi
moneter, tetapi juga dimensi-dimensi lainnya.
Amartya
Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998, dalam bukunya Develeopment as Freedom
mengemukakan bahwa ukuran kemiskinan seseorang bukan dinilai dari kekurangan
uang saja, melainkan juga dari ketidakmampuan untuk mewujudkan potensinya
sebagai manusia. Hal ini yang biasa kita gambarkan sebagai “menjadi manusia
seutuhnya”.
Apabila
mengacu pada konsep tersebut, setidaknya ada tiga dimensi lain yang juga
membentuk potret kemiskinan itu sendiri. Ketiga dimensi tersebut adalah
pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Bersama dengan dimensi moneter, ketiganya
menjadi struktur dari kemiskinan multidimensi.
Kemiskinan
multidimensi saat ini telah diadopsi oleh sejumlah Negara sebagai bagian dari
penyusunan kebijakan mereka. Diantaranya Malaysia, Brazil, China, Kolombia dan
Meksiko. (Luhut Fajar Martha dan Rini Dwi Yuliandri dalam Menatap Indonesia
2015).
***
Saat
ini, Indonesia tersusun atas 539 daerah otonom atau 1,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan
masa awal berlakunya otonomi daerah. Semangat dan “pemberian” kekuasaan kepada
daerah ini semestinya menjadi modal dasar dalam menyelesaikan berbagai
persoalan bangsa terutama kemiskinan multidimensi tersebut.
Hal
ini karena secara teknis otonomi daerah mampu memperpendek rentang kendali
pemerintahan dan mendekatkan akses pelayanan dasar pada masyarakat. Sehingga
dengan segala sumber daya dan potensi yang dimilikinya diharapkan daerah-daerah
otonom mampu mempercepat memerangi kemiskinan tersebut.
Sayangnya,
masih banyak daerah yang belum mampu mengembangkan sumber daya dan potensinya.
Hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap 205 daerah otonom baru hasil
pemekaran 1999 – 2009 menunjukkan empat dari lima daerah masih berkinerja
buruk.
***
Lalu,
apa yang menjadi kunci agar pemerintah mampu secara optimal memerankan fungsinya dalam mensejahterakan rakyatnya.
Menurut,
Mark Turner dan David Hulme (1997), salah satu kunci pokok keberhasilan
pemerintahan mencapai kemajuan adalah eksistensi organisasi pemerintahan yang
efektif. Organisasi pemerintahan yang efekif terbangun karena adanya
kepemimpinan politik yang visioner dan disertai strategic management yang taktis membimbing pelaksanaan
pembangunan.
Disamping
itu, sebagaimana dikemukakan Werlin (2003) terdapat faktor kunci berikutnya
yang mesti mengiringinya, yaitu :
Pertama, pemerintahan yang dipercaya
dan dihargai rakyat (trusted and
respected government). Hal ini disebabkan pemerintah merekrut pegawai
pemerintahan hanya dari mereka yang terbaik dan terpandai (the best and brightest bureaucracy), melakukan perbaikan iklim
kerja pada sektor publik dan membuat
organisasi publik yang efisien.
Kedua, diterapkannya kebijakan yang
berorientasi jangka panjang (long term
policy), yang didasari oleh penelitian yang dapat diandalkan. Kebijakan
lahir dari proses penelitian yang panjang, serius dan sungguh-sungguh, bukan
sekedar hasil kompromi politik dan ekonomi antar elit.
Ketiga, adanya kepemimpinan yang kuat
dan berwibawa (strong and compelling
leadership). Kepemimpinan seperti ini pada umumnya lahir karena memiliki
visi yang jelas bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara, mereka
bersedia bekerja keras bersama rakyat untuk mewujudkan visi tersebut.
Keempat, rakyat yang disiplin dan taat (discipline and decent citizens).
Kedisiplinan dan ketaatan rakyat ini utamanya disebabkan karena mereka percaya
kepada kebijakan para pemimpinnya, dan terlihatnya kesungguhan pemerintah dalam
mensejahterakan rakyat.
Kelima, dikuranginya pengangguran
dengan menciptakan lapangan kerja mandiri (reducing
unemployment by making self employment). Pemerintah mesti memiliki program
yang mampu membuat pengangguran dapat menyediakan lapangan kerja sendiri tanpa
harus mencari pekerjaan pada perusahaan atau pemerintah. Pemberian pelatihan,
bimbingan, dan modal yang dimonitor secara terus menerus.
Keenam, dilakukannya distribusi
kekayaan secara merata (equal
distribution of wealth). Pemerintah membuat berbagai macam peraturan yang
ketat agar kesenjangan tidak terjadi terlalu tinggi antara yang kaya dan yang
miskin. Semua wajib pajak harus memiliki nomor pajak, kemudian diterapkan pajak
progresif, dimana pada prinsipnya semakin kaya seseorang akan dikenakan pajak
yang semakin besar. Dan bagi yang patuh membayar pajak, pemerintah memberikan
hak-hak warga negara secara konsisten, seperti jaminan sosial dan pendidikan.
Ketujuh, digalakkannya pemberantasan
korupsi (discouraging corruption)
secara konsisten. Negara-negara maju
memiliki tingkat indeks persepsi korupsi yang rendah. Menurut Laporan
Transparansi Internasional, pada tahun 2014, Indonesia duduk diperingkat 107 dari
175 negara. Posisi jauh dibawah Singapura (7), Malaysia, Filipina, dan Thailand
(85). Untuk urutan korupsi, Indonesia
hanya lebih baik dari Vietnam (119), Timor Leste (133), Laos (145), serta
Kamboja (156).
Apakah
saat ini faktor-faktor keberhasilan diatas telah dipenuhi oleh pemerintah?
*Terbit di Koran Sindo Batam, 1 Juni 2015
jadi solusinya apa ya pak?
BalasHapushiks hiks bingung saya
bingung, sebab anda tak memahami substansinya.
BalasHapusDibaca dengan baik, maka akan ketemua....
Met siang mas