Sunnatullah dalam Politik


Politik dipahami sebagai dunia yang penuh dengan jebakan dan kepentingan. Sehingga muncul adagium bahwa dalam politik itu tidak ada kawan sejati, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Dengan pemahaman seperti ini, tak sedikit politisi menggunakan segala macam cara dalam meraih cita-cita dan pemenuhan kepentingannya tanpa mempertimbangkan etika dan norma agama. Sejatinya ada hal yang dilupakan. Bahwa dalam dunia politik sebenarnya berlaku juga ketentuan dan aturan sang pencipta. Tepatnya berlaku juga sunnatullah dalam politik.

Begitu disebut kata sunnatullah, maka yang terbercik dalam benak kita dan itu juga yang selama ini dipahami oleh kebanyakan orang, hanya berhubungan dengan hukum alam semata. Seperti gaya gravitasi bumi, perputaran bumi mengelilingi matahari, air selalu mencari tempat yang lebih rendah dan lain sebagainya. Ketahuilah sesungguhnya, sunnatullah tersebut bukan hanya sebatas itu. 

Justru, menurut Daud Rasyid (2001), yang paling banyak disorot oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan termaktub dalam kita suci Al-Qur’an sebagai sunnatullah adalah fenomena sosial yang berkaitan dengan perilaku, tindak tanduk dan sikap manusia juga masyarakatnya. Yang jika melanggar rambu-rambu tertentu akan berhadapan dengan ketentuan dan hukum Allah yang pasti. 

Maka akibat dari perbuatannya tersebut, Allah akan menimpakan kepada mereka bencana yang hebat. Hal ini sebagaimana firman Allah: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta’ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (QS. Al-Isra’: 16). 

Demikian juga bagi manusia-manusia yang enggan menerapkan konsep Allah dalam bidang ekonomi, politik, sosial, hukum dan lainnya, akan menghadapi kehidupan yang serba sempit seperti yang diterangkan dalam surat Thaha ayat 124. Kehidupan seperti ini bisa diterjemahkan dengan : pertumbuhan ekonomi yang minus, utang yang berjibun dan melilit pinggang, kondisi sosial yang rawan dan sensitif, hukum yang tidak punya wibawa, iklim politik yang jauh dari kondusif dan lain sebagainya. 

Lebih lanjut Daud Rasyid menjelaskan bahwa disamping al-Qur’an yang begitu banyak menyorot permasalahan diatas, Rasulullah dengan hadistnya juga tidak sedikit menginformasikan akan hal tersebut. Sebab Rasul disamping banyak menyoroti tentang kondisi dan realitas sosial yang terjadi di kala itu, juga mewartakan masalah-masalah yang bersifat futuristik (nubuwwah) yang sebagian besar telah teruji kebenarannya. Dan sunnatullah yang diterangkan oleh hadist-hadist inipun berkaitan dengan human behaviour (perilaku manusia). 

Nah, jika ayat-ayat Allah dan hadist Rasul tersebut diaktualisasikan maka tidak terlalu sulit untuk menangkap kejadian dan kondisi sulit yang kita alami sekarang ini. Dan sudah barang tentu, sunnatullah dalam politik itu sangat banyak dan tidak mungkin ditulis dan diuraikan satu persatu didalam halaman ini. 

Sunnatullah itu! 

Dan diantara sunnatullah tersebut adalah apabila keadilan tidak ditegakkan maka kehancuran pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Bentuk ketidakadilan ini dapat dijumpai dalam berbagai sektor dengan beragam bentuknya. Ada ketidakadilan dalam pemerataan hasil pembangunan, dimana yang menikmati hasil pembangunan tersebut hanya segelintir orang saja. Sementara mayoritas rakyat tetap terkungkung dalam kemiskinan dan senantiasa termarginalkan. Kondisi demikian dengan sangat tepat disampaikan si Raja Dangdut Rhoma Irama dalam lirik lagunya Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin. 

Ada pula ketidakadilan dalam hal menilai dan memperlakukan pihak lain, seperti dalam pemilu misalnya. Partai yang satu diperlakukan istimewa, sehingga banyak terjadi kongkalikong disana. Sementara partai yang lain, untuk sekedar mencari informasi saja sulitnya bukan main. Dan bentuk ketidakadilan lainnya. 

Namun ada satu bentuk ketidakadilan yang lebih mengancam dan mempunyai implikasi sangat luas yaitu ketidakadilan dalam hukum. Orang yang jelas-jelas bersalah bisa terbebas dari tuntutan jaksa, hanya karena ia seorang yang berpengaruh atau karena dibelakangnya ada pihak-pihak yang berpengaruh. Sementara disisi lain, rakyat jelata yang mencuri seekor ayam kampung diperlakukan sangat tidak sesuai dengan harga sebuah ayam kampung. Bahwa hukum, pada prinsipnya harus berlaku pada semua orang, tanpa terkecuali. Tidak ada seorang pun yang kebal akan hukum. Siapa yang bersalah maka ia pantas untuk mendapatkan hukuman yang setimpal. 

Islam, dalam hal ini dengan secara tegas mengatakan – sebagaimana yang dapat kita ketemukan dalam statement Rasulullah : “Demi Allah, seandainya Fatimah (putri Nabi) mencuri, maka pasti akan kupotong tangannya” (HR. Bukhari). 

Hal demikian juga telah diperlihatkan oleh Khalifah Umar ibnul Khattab, yang dengan tegas menghukum seorang putera gubernurnya di Mesir. Sebab ia memukul seorang pemuda Kristen dengan sebuah cambuk. Maka pemuda Kristen itu disuruh untuk membalas pukulannya atas putera gubernur tersebut. Dalam hal ini, jelas sekali bahwa tidak ada yang kebal hukum baik karena jabatan ataupun status sosialnya. Yang salah harus tetap dipersalahkan dan mendapat hukuman yang setimpal, demi tegaknya sebuah keadilan. 

Sebuah isyarat kehancuran akibat tidak menegakkan keadilan datang dari sebuah hadist Rasulullah yaitu: “Sesungguhnya penyebab kehancuran bangsa-bangsa sebelum kamu dahulu adalah (perilaku yang diskriminatif). Jika yang mencuri itu berasal dari rakyat jelata, maka mereka tegakkan hukum. Akan tetapi jika pencurinya orang-orang elite, mereka bebaskan begitu saja.” (HR. Bukhari – Muslim). 

Memang, dalam dunia peradilan kita, praktek suap menyuap bukanlah hal yang asing lagi. Kongkalikong antara hakim, jaksa dan pengacara sudah menjadi rahasia umum. Bahkan saking kuatnya jaringan mereka muncullah apa yang dinamakan mafia peradilan. Orang yang telah jelas-jelas bersalah, bisa lepas dari jerat hukum dan bebas melenggang. Sementara yang tidak berdosa – entah bagaimana caranya – dijerat dengan hukuman dan akhirnya masuklah ke hotel prodeo. 

Ketidakadilan lainnya yang sering terjadi adalah kufur akan nikmat Allah. Selain sebagai sebuah ketidakadilan, kufur akan nikmat Allah juga berpotensi mendatangkan murkanya Allah. Sebab, karunia yang telah Allah berikan bukan semata-mata bukti keridlaan Allah kepada hambanya, namum juga merupakan ujian bagi kecerdasan sang manusia. Maka apabila mereka kurang bersyukur, nikmat tadi bisa dicabut secara mendadak dan akhirnya serta merta mereka bisa jatuh kedalam lembah kemelaratan yang berkepanjangan. 

Bentuk-bentuk kufur nikmat dalam kehidupan ini antara lain: Kesatu, memandang bahwa kesuksesan yang dicapai adalah karena murni keahlian dan kehebatannya semata. Padahal didalam kacamata Islam, semua bentuk keberhasilan itu adalah karena kemurahan Allah semata. Maka ketika terbercik perasaan yang demikian maka tunggulah hukum Allah pasti akan berlaku. Sebagaimana hal itu telah terbukti pada bangsa ini. 

Ketika bangsa Indonesia berada pada puncak kejayaannya, yang bahkan oleh kebanyakan kalangan di prediksi Indonesia akan menjadi salah satu macan Asia. Namun karena penguasa waktu itu memandang bahwa keberhasilan yang telah diraih itu dikarenakan kehebatan dan ketepatan strategi politik pembangunannya, maka apa yang kemudian terjadi? Di tahun 1997 bangsa ini ditimpa sebuah krisis yang yang maha hebat, yang menyebabkan bangsa ini menjadi salah satu negara termiskin di dunia, yang memiliki hutang luar negeri bernilai miliaran dollar banyaknya. Sehingga bayi yang baru lahirpun kena jatah beban hutang tersebut.

Kedua, mempergunakan kekayaan materi untuk sesuatu yang dimurkai oleh Allah. Konsekuensi dari rasa syukur atas nikmat Allah adalah mempergunakannya kepada jalan-Nya. Tentu, maksudnya bukan hanya untuk membangun masjid semata, sebab Islam tidak hanya berkutat pada seputar masjid saja. 

Di dalam bidang pendidikan misalnya, negeri ini tertinggal jauh dengan negara jiran Malaysia. Sebuah negeri yang di tahun 1970-an banyak mendatangkan guru-guru dari Indonesia untuk diminta mengajar disana. Bahkan salah seorang yang ikut merintis perguruan tinggi di Malaysia adalah orang Indonesia yaitu DR. Imaduddin Abdul Rahim, salah seorang dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) waktu itu. Demikian juga kalau kita bandingkan dengan Mesir misalnya. Al Azhar, salah satu perguruan tertua di dunia sanggup memberikan pendidikan gratis dan berkualitas kepada rakyat Mesir dan juga pendatang termasuk Indonesia. Yang lebih membuat decak kagum lagi adalah bahwa pendidikan gratis tersebut berlaku dari jenjang pendidikan dasar hingga doktoral. 

Pendidikan di Indonesia, tidak menjadikan rakyat menjadi cerdas dan berkualitas. Hal ini dikarenakan saking rendahnya mutu pendidikan, yang akhirnya pendidikan berkualitas diserobot oleh lembaga-lembaga swasta untuk kepentingan bisnis dan misinya. Sehingga yang terjadi adalah pendidikan menjadi barang yang mahal dan mewah. Akhirnya siapa yang terkena itu semua?. Lagi-lagi rakyat kecil. Semoga pemerintah dapat konsisten melaksanakan ketentuan yang telah diperintahkan oleh konstitusi UUD 1945 yaitu mengalokasikan 20 persen dari total anggaran yang ada baik di APBN maupun di APBD. Sehingga rakyat dapat merasakan dan menikmati pendidikan yang layak dan berkualitas.

Ketiga, pemborosan. Ia adalah sebuah watak yang begitu melekat dalam pemerintahan kita dan telah menjangkit pada sebagaian masyarakat khususnya orang-orang yang berduit. Bukan rahasia lagi, bila dalam suatu instansi pemerintah diakhir tahun anggaran, tidak boleh ada anggaran yang tersisa. Harus dihabiskan! Maka bila ada anggaran yang tersisa oleh sang pimpinan di perintahkan untuk segera menghabiskan anggaran tersebut, bagaimanapun caranya. Maka jangan heran, apabila dalam penyusunan APBN / APBD alokasi mata anggaran untuk belanja rutin sedemikian besar. Belum lagi ditambah dengan mata anggaran tak tersangka yang jumlahnya pun tidak bisa dikatakan sedikit. 

Apakah ini bukan sebuah kufur nikmat? Siapa yang menikmati, tentunya hanya segelintir orang saja dan lagi-lagi rakyat yang harus menanggung kesemuanya itu. Sudah jamak diketahui bahwa dana APBN dan APBD adalah berasal dari dana rakyat. Maka seruan untuk berhidup hemat dan sederhana yang dilakukan oleh Ketua MPR RI DR. Hidayat Nur Wahid, menjadi sangat relevan. Dan harapannya hal ini dapat diikuti oleh pejabat-pejabat baik di lingkungan Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, baik yang di pusat maupun di daerah. Sudah saatnya pemborosan dan gaya hidup mewah segera ditinggalkan. Sudah tak sesuai dengan tuntutan jaman. 

Dua Bencana Besar 

Dalam perspektif Islam, kufur nikmat dapat mendatangkan dua bencana besar, yaitu: Pertama, kelaparan. Yang ini dapat diterjemahkan dengan adanya krisis pangan, krisis sembako dan juga krisis moneter. Hal demikian dapat dibuktikan, bangsa Indonesia sebuah negeri yang kaya raya dan subur makmur, gemah ripah loh jinawi – meminjam istilah budayawan Emha Ainun Nadjib – Indonesia diibaratkan wilayah yang terkena tetesan dari surga yang bocor. Saking susahnya mencari sebuah istilah yang dapat menggambarkan kondisi sebenarnya negeri ini. Hal demikian juga digambarkan dengan sangat baik oleh sebuah group musik legendaris Indonesia yaitu Koes Plus, dengan lagunya Bukan Lautan Hanya Kolam Susu. 

Namun kondisi yang ada sekarang adalah bangsa ini menjadi salah satu pengimpor beras terbesar di dunia. Ir. Siswono Yudohusodo dalam berbagai kesempatan menyatakan kalau kita makan tahu atau tempe, maka dapat dipastikan sekitar 60% nya adalah kedelai impor, demikian juga komoditas kebutuhan pokok lainnya. Hal ini menggambarkan ada sesuatu yang tidak semestinya telah terjadi pada negeri ini. Memang, kalau anda ingin menemukan berbagai keajaiban dunia, datanglah ke Indonesia. Maka anda akan segera menemukan keanehan-keanehan tersebut, baik keajaiban alamnya terlebih lagi keanehan manusianya. 

Kedua, rasa ketakutan, kekhawatiran, dan tidak aman. Rasa ketakutan yang mencekam akibat kerusuhan massal, isu ancaman bom, ketakutan karena tindak kejahatan seperti penodongan, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain sebagainya. Hal ini membuat orang menjadi tidak nyaman, merasa tidak aman dan senantiasa dihantui oleh perasaan cemas, was-was dan khawatir. Inilah yang sekarang sedang terjadi di negeri ini. 

Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal ini memperingatkan dalam firman-Nya, “Dan Allah membuat perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang tadinya aman lagi tentram, memperoleh rizqi yang melimpah ruah dari berbagai penjuru, tetapi (penduduk) negeri itu kufur terhadap nikmat Allah, maka Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, akibat apa yang mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 112).

Catatan Akhir

Namun demikian, Allah Subhanahu Wa’ Ta’ala dalam ayat lain didalam al qur’an memberikan solusi atas segala permasalahan tersebut, yakni dengan cara memperbaiki kualitas hubungannya dengan Allah – yang diungkapkan dengan mengabdi, menyembah kepada Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya. 

Hal ini termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 186: “Dan apabila ada hamba-hamba Ku yang bertanya (kepadamu) tentang Aku, maka katakanlah bahwasannya Aku adalah dekat. Dan Aku akan mengabulkan do’a dari orang-orang yang berdo’a, apabila ia berdoa’a kepada Ku. Dan hendaklah mereka (memenuhi segala perintah) Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran."

Kita, memang telah melaksanakan perintah Allah. Namun hal itu seringkali hanya kita lakukan secara sektoral dan parsial saja. Kita melaksanakan perintah Allah hanya dikala melaksanakan sholat saja, namun diluar sholat kita masih enggan melaksanakan perintah-Nya. Buktinya, kita masih tidak mau melaksanakan sistem yang telah dibuat oleh Allah. Sebab kita masih bangga dan cenderung mendewakan sistem bikinan manusia. Kapitalisme, sosialisme, liberalisme dan lain sebagainya. Bukankah ini artinya kita tidak percaya bahwa sistem yang telah Allah turunkan tersebut efektif dan tepat untuk mengatur seluruh tatanan umat manusia. 

Kita pun masih memiliki pandangan dan sikap bahwa politik adalah alat untuk mencari dan merebut kekuasaan dan harta semata. Bukannya menjadikan sebagai sebuah sarana untuk memenuhi perintah dan penyembahan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi, memang kita masih melakukan penyembahan kepada Allah hanya pada saat sholat saja, dan tidak melakukannya dengan totalitas dalam kehidupan kita. 

Dan begitulah sunnatullah berlaku kepada siapa saja, yang tidak memenuhi perintah dan kehendak dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semoga tulisan ini dapat menjadi sebuah renungan terutama bagi para politisi dan pengambil kebijakan di negeri ini. Karena ditangan anda lah nasib dan kesejahteraan rakyat digantungkan. Hati-hati dengan amanah tersebut dan ingatlah bahwa dalam politik berlaku juga hukum sunnatullah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar