CSR, Public Relations dan Upaya Membangun Reputasi




Bagi sebagian perusahaan, baik swasta, BUMN maupun BUMD, pemberian jaminan sosial bagi karyawan dan masyarakat bukanlah perkara baru. Melalui apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR), sebagian perusahaan menyisihkan keuntungannya untuk mendanai program sosial bagi masyarakat, terutama masyarakat yang bertempat tinggal disekitar perusahaan. Melalui berbagai kegiatan, seperti kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan sebagainya.

Konsep CSR ini ditegaskan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yang menyatakan bahwa CSR adalah : business contribution to sustainable development and that corporate behavior must not only ensure returns to share holders, wages to employees, and product and services to consumers, but they must respond to society and environmental concern and value.

Respon dan Perilaku Pengusaha

Respon dan perilaku para pengusaha terhadap pelaksanaan CSR inipun beragam, mulai dari yang tidak mau melaksanakan sama sekali hingga yang menjadikan CSR sebagai core value dalam menjalankan bisnis. Terkait dengan praktik CSR ini, pengusaha dikelompokkan ke dalam empat : kelompok hitam, merah, biru, dan hijau (Untung : 2008).

Kelompok Hitam, adalah pengusaha yang tak mau melaksanakan praktik CSR sama sekali. Pengusaha ini menjalankan bisnis semata-mata untuk kepentingan sendiri dan sama sekali tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial, bahkan tidak mau juga memperhatikan kesejahteraan karyawannya.

Kelompok Merah, pengusaha yang menjalankan CSR tetapi memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungan. Aspek lingkungan dan sosial mulai diperhatikan namun dengan keterpaksaan dan biasanya dilaksanakan setelah ada tekanan dari pihak lain, seperti masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Kesejahteraan karyawan juga dilaksanakan setelah ada ancaman mogok kerja dari karyawannya. Kelompok ini umumnya berasal dari kelompok hitam yang mendapat tekanan dari stakeholdersnya, yang kemudian dengan terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial, juga kesejahteraan karyawannya.

Kelompok Biru, perusahaan yang menilai praktik CSR akan memberikan dampak positif terhadap usahanya, karena merupakan investasi dan bukan biaya.

Kelompok Hijau, adalah perusahaan yang sudah menempatkan CSR sebagai strategi inti bisnisnya. Jadi CSR tidak hanya dipandang sebagai keharusan yang merupakan tanggungjawab dan modal sosial.

CSR dan Public Relations

Berbicara tentang CSR, sering kali diinterpretasikan hanya sebagai kedermawanan semata. Padahal, CSR tersebut terkait dengan sustainability dan acceptability, artinya diterima dan keberlanjutan berusaha dalam suatu tempat. Dalam konteks inilah, CSR merupakan bagian dari public relations perusahaan.

Di era informasi dan sosial media seperti saat ini, peran public relations (PR) sangatlah mendasar. PR lah yang membentuk, meningkatkan dan memelihara citra dan reputasi (image and reputation) perusahaan. Kegiatan PR mencakup dua hal, hubungan internal, seperti karyawan dan keluarganya juga manajemen, dan hubungan eksternal, public diluar perusahaan, seperti : komunitas, pemerintah, pers, LSM, perbankan, investor, kompetitor, kalangan akademisi, dan sebagainya.

Citra adalah dunia menurut persepsi kita (Rakhmat, 1993). Juga, Citra adalah kesan, perasaan, gambaran diri public terhadap perusahaan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi. (Canton, dalam Soemirat dan Ardianto, 2002).

Sementara reputasi mencerminkan persepsi publik terkait tindakan-tindakan perusahaan dibandingkan dengan pesaing utamanya. Jadi reputasi bisa baik atau buruk, besar atau kecil, dan kuat atau lemah.

Menurut Fombrum, paling tidak ada empat reputasi perusahaan yang perlu ditangani dengan serius, yaitu : credibility (kredibilitas di mata investor), trustworthiness (terpercaya dalam pandangan karyawan), reliability (kehandalan di mata konsumen), dan responsibility (tanggungjawab). (Ali Fahmi, 2008).

Jadi membangun sebuah reputasi adalah tugas maha penting professional public relations. Hal ini karena, menurut Morley (2002), pengelolaan reputasi perusahaan adalah sebuah orchestra atas inisiatif public relations yang dirancang untuk mempromosikan dan melindungi pentingnya sebuah brand (merek), termasuk nama baik perusahaan.

Reputasi baik atau buruk, lemah atau kuat, sangat bergantung pada kualitas pemikiran strategis, dan komitmen manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan adanya ketrampilan serta energi dengan segala komponen program yang akan direalisasikan dan dikomunikasikan.

Mengacu pada pemahaman reputasi diatas, bila sebuah perusahaan memiliki reputasi baik, maka laba perusahaan akan bertambah. Begitu juga sebuah pemerintah yang mengeluarkan kebijakan yang menghasilkan reputasi bagus, maka dukungan rakyat terhadap pemerintahan tersebut akan meningkat.

Morley juga menyebutkan bahwa rata-rata pelanggan menyukai produk dari perusahaan yang mempunyai reputasi baik. Oleh karena itu, diciptakanlah hubungan yang kuat antara perusahaan dengan produk dan jasanya. Karenanya perusahaan identik dengan produknya. Hal ini bisa terlihat dari Microsoft, Apple, Visa, dan BlackBerry. Disinilah pentingnya mengelola reputasi sebuah perusahaan.

Catatan Akhir

Selaras dengan kejadian pembakaran hutan guna membuka lahan perkebunan yang terjadi akhir-akhir ini di Provinsi Riau, jelas jauh dari upaya membangun reputasi. Alih-alih mendapatkan reputasi baik, tindakan membakar hutan tersebut telah membuat “sengsara” banyak manusia dan “geger” republik ini juga negeri jiran, Singapura dan Malaysia.

Membangun reputasi baik perusahaan, adalah sebuah keniscayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar