#Percik - Puasa, secara bahasa bermakna
al-Imsak atau menahan diri dari sesuatu seperti menahan diri dari makan atau
berbicara. Dalam surat Maryam dijelaskan: "Maka makan dan minumlah kamu
wahai Maryam dan tenangkanlah hatimu, dan jika kamu bertemu seseorang maka
katakanlah saya sedang berpuasa dan tidak mau berbicara dengan
sesiapapun." (QS. Maryam:26).
Sedangkan secara istilah berarti menahan dari dari dua jalan syahwat (mulut dan farj) dan hal-hal lain yang dapat membatalkan pahala puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari."
Sedangkan secara istilah berarti menahan dari dari dua jalan syahwat (mulut dan farj) dan hal-hal lain yang dapat membatalkan pahala puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari."
Bila merujuk pada teks ayat yang
menjadi landasan diwajibkannya ibadah ini, seseorang yang melakukan dengan
baik, tepat dan benar niscaya dapat mengambil hikmah dari puasa tersebut.
Landasan teologis yang dimaksud adalah sebagaimana yang tertera pada surah
al-Baqarah ayat 183 : Ya ayyuha al-ladziina amanuu kutiba 'alaikum al-shiyaamu
kamaa kutiba 'ala al-ladziina min qablikum la'allakum tattaquun (artinya : Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa). Bahwa salah satu hikmah
terbesar dari puasa adalah sabar (shabr). Sedang kesabaran dalam konteks ini mempunyai beberapa dimensi yaitu:
Pertama, al-shabr fi al-tha'ah (sabar ketika menjalankan perintah Allah). Hal ini dapat dilihat dalam aktivitas sehari-hari. Bahwa untuk patuh
kepada perintah-Nya mayoritas manusia mudah mengeluh, gampang 'berontak' bahkan
cenderung malas serta terkesan terpaksa. Misalnya, ketika diperintahkan untuk
mengeluarkan zakat, puasa, haji, sholat dan ibadah lainnya. Lebih khusus lagi
pada saat menjalankan qiyam al-lail (sholat tarawih) masih dijumpai adanya
perasaan kurang sreg -dari sebagian muslim-bila yang jadi Imam Tarawih bacaan
surahnya panjang serta menyita waktu relatif lama, dan keinginannya adalah
dipersingkat agar porsi waktu melaksanakan sholat Tarawih tersebut relatif
lebih cepat. Sehingga ada indikasi bahwa Imam yang ketika memimpin sholat
Tarawih cukup lama, kurang digandrungi oleh makmumnya karena mereka lebih suka
memilih sholat yang ekspres.
Demikian pula ketika diperintahkan untuk 'membunuh' atau mengendalikan hawa
nafsu, maka dengan serta merta hal ini harus dilaksanakan dengan seksama.
Ending-nya adalah segala bentuk 'penyakit hati' (seperti : 'ujub, riya`, hasud,
takabbur, dan lainnya) dapat dikikis habis melalui wahana ritual antara lain
berupa puasa Ramadhan ini. Walhasil, bila masih didengar adanya keluhan semasa
menjalankan perintah-Nya (secara menyeluruh), berarti puasa yang ditempuhnya belum
menuai hasil yang diharapkan.
Kedua, al-shabr 'ala al-ma'siyah (sabar saat menghadapi
maksiat/larangan-Nya). Hal tersebut dapat dilihat pada perilaku al-sha`im,
apakah mampu menahan dirinya dari segala model maksiat yang dimunculkan oleh
anggota badannya semasa menjalankan puasa, atau justru terbuai dalam gelimang
segala macam tipe aktivitas yang mendatangkan murka Allah SWT. Oleh karenanya, seluruh
panca indera orang yang berpuasa dilarang untuk melakukan hal-hal yang berbau munkarat,
membatalkan puasa serta pahalanya (baik lahiriyah maupun batiniah), semenjak
terbit fajar sampai terbenam matahari (konteks puasa) dan selama dia hidup
(konteks kemasyarakatan).
Makna sabar pada point kedua ini tidak hanya sabar untuk menahan diri dari
melakukan perbuatan munkar, namun juga bisa berarti sabar dalam arti melakukan
upaya untuk merubah kemungkaran menjadi amar ma'ruf sesuai tahapan dan
kemampuan yang disinyalkan oleh sebuah Hadits (dengan kekuasaan, melalui lisan
dan ikrar 'mengecam' perbuatan tersebut dalam hati). Dalam lingkup kemanusiaan,
kemunkaran ini dapat dimaknai segala hal yang menimbulkan kerusakan, kerugian,
kesengsaraan, keresahan, melanggar Hak Azasi Manusia lainnya di suatu lingkungan,
serta dapat pula berarti setiap aktivitas sehari-hari yang bertentangan baik
norma, adat, maupun hukum agama dan susila. Misalnya : penyelundupan,
penimbunan, penebangan dan penambangan liar, korupsi, kolusi, nepotisme,
pelacuran, narkoba, penindasan, hegemoni hak rakyat, pemasungan hak anak
bangsa, diskriminasi, hal-hal yang berpotensi menimbulkan dan masuk kategori
tindak kriminalitas serta sejenisnya.
Jika seluruh manusia -khususnya muslim-dapat mengejawantahkan arti sabar
ini dalam kehidupannya, niscaya tidak mustahil akan terbangun suatu masyarakat
yang benar-benar
mendapatkan limpahan berkah dari-Nya serta dihindarkan dari segala macam
bahaya, bencana yang tidak lain adalah merupakan pengiling dari Sang Pencipta.
Ketiga, al-shabr 'ala qadla`illah (sabar menerima ketetapan atau taqdir
Allah). Penanaman makna ini dapat diuji-cobakan pada sikap dan sifat
seorang hamba yang telah merencanakan segala sesuatu dengan harapan bahwa
cita-cita dari rencana tersebut dapat terwujud sesuai dengan yang diidamkan melalui
usahanya, namun Allah SWT berkehendak lain. Bila masih terpercik adanya rasa
mengeluh dan 'protes' kepada-Nya atas kenyataan yang tidak sesuai dengan cita
dan asanya, sehingga memunculkan rasa putus asa yang berdampak pada penurunan
frekwensi ibadah, maka hamba tersebut masih termasuk kategori hamba yang belum
memiliki kesabaran dalam dimensi ketiga ini.
***
***
Oleh karenanya, sikap dan kebiasaan untuk mensyukuri nikmat, anugerah-Nya
dan sifat qana'ah haruslah dilestarikan dalam segenap lini kehidupan. Serta
perlu dicamkan juga bahwa segala hal yang terjadi (termasuk musibah) itu
merupakan wujud dari sifat Qudrat dan Iradat-Nya yang 'mengharapkan' adanya
kesadaran seluruh manusia bahwa di balik musibah itu terdapat hikmah dan
semata-mata datangnya dari Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang sebagai bukti
kecintaan pada hamba-Nya yang beriman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar