Pilkada dan Masa Depan Kepri


Pertama kalinya dalam sejarah kenegaraan Republik Indonesia, kepala daerah akan dipilih secara langsung. Sebuah hal yang mustahil kalau merujuk pada UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di Provinsi Kepulauan Riau, hajatan demokrasi lokal ini direncanakan akan berlangsung pada 30 Juni mendatang. Sebuah gawe besar, yang menuntut kesiapan prima dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi sebagai penyelenggaranya.

Tahapan Pilkada

Kalau dicermati dengan seksama, tahapan yang disusun KPUD Provinsi terkesan “memaksakan diri”. Keseluruhan tahapan yang “seharusnya” dipersiapkan dalam tempo 180 hari (6 bulan) diringkas menjadi hanya kurang lebih 3 bulan. Hal ini membuat KPUD terlihat keteteran dalam melaksanakan tahapan-tahapan yang dibuatnya sendiri.

Kondisi serupa ternyata juga dialami KPUD daerah lain. Berdasar keterangan Direktur Eksekutif Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Ray Rangkuti, dalam dialog “Evalusi Pemilu 2004 dan Orientasi Perbaikan Pilkada” di Gedung DPR/MPR beberapa waktu lalu, menyebutkan dengan hanya berbekal waktu maksimal dua bulan, dipastikan sebagian besar pemerintah daerah (pemda) akan keteteran dalam melaksanakan pilkada tersebut.

Potensi Persoalan

Untuk itu terkait dengan kondisi diatas, penulis melihat penyelenggaraan pilkada ini ternyata berpotensi membawa berbagai persoalan.

Pertama, memilih orang. Konsekuensi cara pemilihan seperti ini adalah menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan. Hal ini berpotensi dapat meningkatkan potensi hubungan antar pendukung pasangan calon. Sebab, untuk memilih partai saja, kebanyakan pemilih masih mempertimbangkan figur masing-masing tokohnya. Pemilih PKB, misalnya, terikat dengan partai yang didirikan NU karena ada tokoh Abdurrahman Wahid. Pun demikian pemilih PDIP, tertarik dengan partai moncong putih disebabkan karisma Megawati Soekarnoputri. Hal serupa juga terjadi pada pemilih PAN, yang tertarik karena figur Amien Rais. Dan tak dapat dipungkiri, perolehan suara Partai Demokrat yang cukup mengejutkan pada Pemilu 5 April 2004 lalu, juga tak lepas dari sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ini bermakna, figur seseorang masih menjadi daya tarik cukup signifikan bagi pemilih menjatuhkan pilihan politiknya. Untuk itu, dalam pilkada yang mana pemilih dipaksa memperhitungkan kapasitas figur masing-masing pasangan calon, hubungan pemilih dengan pasangan calon jadi sangat personal.

Persoalannya, penerimaan dan penolakan pemilih terhadap pasangan calon --dalam konteks kultur Indonesia --lebih banyak disebabkan hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional. Sehingga, bisa saja orang menilai pasangan calon bukan berdasar kapabilitas pribadi si calon, tetapi lebih berdasar pada latar belakang sosial ekonomi dan ketokohannya. Bagi pemilih semacam ini, tak penting melihat kemampuan intelektual, wawasan, pengalaman pribadi, apalagi visi, misi dan program calon. Cukup melihat dari orangtua (keturunan), latar belakang organisasi (NU atau Muhammadiyah), garis ideologis (nasionalis atau Islam), dan sebagainya. Hubungan pemilih dan calon yang bersifat emosional dan personal semacam ini, dukungan terhadap calon bukan hanya persoalan kalkulasi untung-rugi, namun lebih bersifat ideologis. Akibatnya, para pendukung masing-masing pasangan calon sangat sensitif terhadap persoalan SARA.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan KPUD dan juga Panwas adalah membuat aturan kampanye yang seketat mungkin berkaitan dengan visi, misi, dan program kampanye pasangan calon. Konsekuensinya, kalau ada pasangan calon melakukan kampanye di luar visi, misi, dan program calon harus ditindak tegas, apalagi kalau itu bisa mendorong munculnya kerusuhan di tingkat massa.

Kedua, black propaganda. Konsekuensi memilih orang maka bentuk-bentuk black propaganda akan banyak mewarnai kampanye, ketimbang model kampanye yang berupa upaya membangun image positif masing-masing pasangan calon. Di banyak negara yang menerapkan pemilihan secara langsung, model-model kampanye negatif (negative campaign) sangat lazim terjadi. Para juru kampanye masing-masing pasangan calon tak puas hanya menunjukkan image positifnya, tetapi juga berusaha mati-matian menampilkan sisi buruk dari para kompetitornya. Pola hubungan pemilih dan calon di Indonesia yang bersifat personal, emosional, dan sangat ideologis, menyebabkan para pendukung pasangan calon sangat mungkin tidak bisa menerima jika tokohnya dicemooh dan didiskreditkan. Persoalan menjadi rumit jika yang dikembangkan pasangan calon bukan hanya dalam bentuk kampanye negatif, tetapi juga black campaign atau black propaganda. Dalam kampanye negatif, data yang digunakan mendelegitimasi pasangan calon biasanya didasarkan pada fakta atau setidaknya berita yang pernah ditulis media massa.

Sementara dalam black propaganda, serangan terhadap lawan tak jarang didasarkan pada rumor, gosip bahkan fitnah. Penyelenggara pilkada, dalam kaitan dengan persoalan ini, perlu membatasi munculnya black propaganda, baik melalui rapat tertutup, kampanye terbuka, leaflet, internet, SMS, dan sebagainya. Belakangan, modus operandi black propaganda melalui SMS agaknya cukup efektif mempengaruhi pemilih. Oleh karenanya, perlu ada aturan KPUD yang tegas, agar para pengirim SMS yang bersifat black propaganda bisa dijerat hukum untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

Ketiga, split votting. Konsekuensi lain memilih orang adalah akan banyaknya split votting, (banyak pendukung partai memberi dukungan menyilang). Artinya, betapapun partai Golkar mengajukan calon A, maka para pendukung partai Golkar bisa saja terbelah dukungannya ke pasangan calon lain seperti B dan C. Sebaliknya, PKB yang mengajukan calon B, bukan tak mungkin pendukungnya memberi suara ke calon lain A dan C. Namun, sejauh fenomena split voting itu sebagai bentuk pilihan rasional pemilih, sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Dalam studi votting behavior, pemilih rasional biasanya menggunakan kalkulasi untung rugi dalam menentukan pilihan politiknya. Kalkulasi ini biasanya berkaitan dengan kandidat mana yang menawarkan program-program sesuai dengan preferensi politiknya. Oleh karena itu, di banyak negara, meningkatnya suara split votters biasanya seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, meluasnya akses informasi, dan adanya jaminan kebebasan pilihan politik.

Persoalannya akan runyam, bila fenomena split votting itu bukan ekspresi pemilih rasional, tetapi sebagai produk keterlibatan elite atau tokoh politik baik di pusat maupun lokal. Artinya, fenomena split votters ini sebagai hasil desain atau rekayasa politik dari elite-elite partai atau tokoh masyarakat. Misal, ada dua tokoh Partai Golkar maju calon kepala daerah, elite-elite Golkar terpecah jadi dua: mendukung calon yang satu atau lainnya. Jika elite-elite bergerak ke akar rumput, dengan menggunakan pendekatan kampanye negatif atau bahkan black propaganda, bukan tak mungkin terjadi benturan politik di tingkat massa. Oleh karena itu, perlu antisipasi dari semua pihak, khususnya penyelenggara pilkada agar konflik-konflik yang mungkin muncul ini bisa dieliminasi, dengan adanya rekayasa sistem pilkada: membuat aturan dan penegakan aturan itu secara tegas.

Keempat, ketidaksiapan pemilih menerima kekalahan calon dukungannya. Akibat sistem pemilihan dua tahap, maka sangat mungkin calon terbesar kedua keluar sebagai pemenang. Hal ini terjadi karena sifat dasar sistem pemilihan yang menggunakan dua putaran, lazimnya akan dimenangkan para kandidat yang memiliki tingkat penolakan terkecil, dan bukan kandidat yang memiliki tingkat dukungan terbesar. Maksudnya, jika pasangan calon A memperoleh dukungan 40 persen, sementara pasangan B memperoleh dukungan 30 persen, sementara dua pasangan lainnya hanya mampu mengumpulkan masing-masing 15 persen suara; maka yang keluar sebagai pemenang akan ditentukan tingkat penolakan pemilih terhadap pasangan A dan B. Betapa pun A memperoleh dukungan terbesar, namun jika tingkat penolakan B sangat kecil, maka B akan bisa keluar sebagai pemenang.

Maka dalam sistem pemilihan dua tahap, yang dibutuhkan adalah kesadaran dan kedewasaan dari para pemilih. Untuk itu dibutuhkan sosialisasi secara intensif dan massif kepada para pemilih atas implikasi-implikasi sistem pemilihan semacam ini. Sehingga jika pasangan calon yang didukungnya kalah pada putaran kedua, meskipun pada putaran pertama memperoleh suara terbanyak, bisa menerima kekalahan tersebut dengan lapang dada.

Kelima, daerah pemilihan. Dalam Pilkada kali ini, daerah pemilihannya adalah seluruh wilayah kabupaten/kota. Konsekuensinya, proses kampanye menjadi sulit dikendalikan. Per konsep, implikasi daerah pemilihan semacam ini memungkinkan semua pemilih bisa melakukan kampanye di semua wilayah yang masuk dalam satu daerah pemilihan. Hal ini sangat mungkin akan terjadi mobilisasi massa besar-besaran, yang menyebabkan penumpukan massa di suatu tempat. Penumpukan massa dalam jumlah besar, jika tidak dikelola dengan baik, sangat mudah menjurus ke tindakan anarkis.

Untuk itu, perlu dilakukan rekayasa politik dalam pengelolaan kampanye pilkada. Semisal, pengerahan massa dibatasi seluas wilayah kecamatan, atau pengerahan massa diperbolehkan melebihi batas wilayah kecamatan asal berdekatan secara geografis, seperti konsep daerah pemilihan pada saat pemilu legislatif. Dengan pengaturan semacam ini, penumpukan massa di suatu tempat dapat dihindari.

Catatan Akhir

Paparan potensi persoalan diatas dengan implikasi politik masing-masing, perlu dicermati dan di jawab dengan solusi yang tepat baik oleh KPUD sebagai penyelenggara, Panitia Pengawas, aparat keamanan dan juga tim sukses serta pendukung dari masing-masing kandidat, sehingga bisa dieliminir dampak negatifnya.

Sebagai sebuah pesta demokrasi, pilkada merupakan pertaruhan bagi masa depan Provinsi Kepri. Sukses dan tidaknya pelaksanaan pilkada, akan sangat membawa dampak terhadap masa depan provinsi ini. Untuk itu, mensukseskan pilkada adalah menjadi tanggung jawab semua komponen masyarakat Kepri, tanpa kecuali. Janganlah karena kepentingan politik sesaat, kita korbankan kepentingan masyarakat Kepri secara keseluruhan. Maka selama tidak ada sebuah alasan yang kuat dan mendesak, pilkada harus tetap berlangsung sesuai jadwal sehingga agenda-agenda politik dan pembangunan di Provinsi Kepri dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dan akhirnya provinsi ini dapat melakukan upaya mengejar ketertinggalannya dengan provinsi lainnya di Indonesia. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridloi dan meringankan langkah kita dalam melaksanakan tugas mulia ini. Amien.

*Terbit Media Kepri, 2 Juni 2005
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar