Konstelasi politik makin memanas. Seiring makin dekatnya aroma pelaksanaan
pilkada (walikota) langsung. Gerakan dukung-mendukung terhadap pasangan calon secara
vulgar terus berlangsung. Hampir setiap hari, berita tentang pilkada dengan
segala perniknya mewarnai kolom hampir di semua media cetak maupun elektronik.
Pilkada langsung di Indonesia yang dimulai Juni 2005, akan memilih 226 kepala
daerah baik Gubernur, Walikota maupun Bupati di 11 Provinsi, 180 Kabupaten dan
35 Kota (Prijanto Rabbani dalam Kontroversi Desk Pilkada, Batam Pos, 12
Maret 2005).
Jamak dalam sebuah pertandingan, menang dan kalah, pasti terjadi. Berpijak
dari realita tersebut, melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan
bagaimana selayaknya seorang pemimpin bersikap tatkala kemenangan berhasil
diraihnya.
Kemenangan Sang Nabi
Sejarah telah mencatat begitu banyak kemenangan dan kesuksesan yang diraih
oleh Nabi Muhammad. Namun dalam tulisan ini, penulis hanya ingin menyebutkan
dua kemenangan yang pernah dialami oleh sang Nabi.
Pertama, kemenangan atas Da’tsur, seorang ksatria dari pasukan Quraisy
Makkah. Peristiwa ini bermula, tatkala Nabi sedang tidur di bawah sebuah pohon.
Dalam keadaan tertidur lelap, Da’tsur datang menghampiri sang Nabi. Dan ketika
Nabi bangun, seketika Da’tsur dengan pedang terhunus dan siap untuk membunuh
sang Nabi. Kemudian ia berkata “Wahai Muhammad, siapa yang menghalangiku untuk
membunuhmu?”. Kemudian sang Nabi dengan penuh keyakinan menyatakan, “Allahlah
yang akan menjadi pelindungku dan penghalang terhadap keinginanmu untuk
membunuhku.” Maka serta
merta, tangan Da’tsur gemetar dan tidak mampu menahan ayunan pedangnya. Seketika jatuhlah perdang tersebut dan
Da’tsur tidak berdaya sama sekali.
Setelah terjatuh, pedang kemudian diambil oleh Muhammad. Keadaanpun menjadi
berbalik. Muhammad balik mengancam Da’tsur dengan pedang terhunus disertai
pertanyaan yang sama. Siapakah yang bisa menghalangi diriku dari pedang
terhunus ini?. Dengan dipenuhi perasaan ketakutan, Da’tsur menjawab dengan
penuh kepasrahan bahwa hanya engkau Muhammad yang bisa menyelamatkanku. Diriku
tidak punya pembela siapa-siapa, kecuali engkau. Dan sang Nabipun kemudian
menyatakan bahwa engkau selamat. Aku tidak akan pernah melakukan tindak kekejaman,
apalagi sampai membunuhmu.
Muhammad adalah sosok yang senantiasa mengemban misi dakwah. Memanfaatkan
setiap kesempatan, sekecil apapun apalagi sebesar yang terjadi di antara
dirinya dengan Da’tsur. Sang Nabi selalu tampil sebagai seorang yang mulia dan
lembut serta penuh kasih sayang.
Kedua, kemenangan selanjutnya adalah tatkala beliau dan para sahabatnya
mampu mentaklukan Kota Makkah dari tangan penguasa Quraisy. Pada saat itu, kota
kelahirannya dikuasai oleh Abu Sofyan, seorang dari keturunan Bani Umayyah,
rival utama keluarga Muhammad, Bani Hasyim.
Keberhasilan tersebut dicapai tanpa melalui perlawanan yang berarti dari
pihak penguasa. Pada saat kekalahan itu, warga dan penguasa Makkah menanti-nanti
tindakan apa gerangan yang akan dilakukan oleh sang Nabi dan para pengikutnya.
Mereka teringat kembali akan
kebengisan dan perlakuan kasarnya terhadap Nabi, bahkan memaksanya harus hijrah ke
Yastrib (Madinah). Para elite Quraisy dan warga Makkah sudah siap menerima
tindakan pembalasan apapun setimpal dengan kekejaman yang pernah dilakukannya
kepada diri Nabi. Namun apa yang terjadi, bayangan menakutkan dan sudah
terbayang di hadapan mereka, sungguh di luar perkiraan. Sang Nabi malahan memberikan
kepada mereka sebuah jaminan keselamatan. Nabi mengeluarkan statemen yang
sangat terkenal: Bagi yang mau selamat, silakan masuk masjid Makkah. Setelah
sesak dan masih banyak yang tidak tertampung, Nabi lalu meminta untuk dapat
memakai rumah Abu Sofyan. Namun masih belum muat juga. Nabi akhirnya menyerukan
bahwa yang mau selamat silakan memasuki rumah masing-masing.
Alangkah luhur dan damai hati sang pemimpin agung ini. Kekejaman dan
penganiayaan yang dialaminya, dibalas dengan kecintaan dan kasih sayang. Beliau
adalah seorang yang berhati selembut salju. Tatkala sebuah kemenangan diraih,
beliau tidak melonjak-lonjak kegirangan sehingga lupa bahwa kemenangan itu
hanyalah salah satu sisi kehidupan sebab masih ada sisi lain dari sebuah uang
logam. Dalam hal ini, masih ada pula kebalikannya, yakni kegagalan dan kekalahan.
Kemenangan Pilkada
Pertanyaan yang perlu dihadirkan adalah bagaimana dengan perilaku umatnya
tatkala mengalami sebuah kemenangan?. Mengamalkan apa yang dipraktekkan oleh
Nabi bukanlah hal mudah. Malahan
tidak sedikit di antara mereka, justru makin memperbesar kemarahan dan
keangkuhan melalui kemenangannya. Umatnya memandang penantang dan kompetitornya
sebagai musuh yang memang harus dikalahkan, kalau perlu dihancurleburkan.
Karena dipandang sebagai musuh, maka ia dipandang kalau tidak dibunuh, maka ia
akan membunuhnya. Ia berusaha menghancurkan musuhnya sebagai sebuah tindakan
keselamatannya ke depan, minimal dilumpuhkan kekuatannya.
Apa yang sering terjadi pada diri umat Muhammad amatlah tidak sejalan
dengan praktik Nabi tersebut. Soalnya, sejak awal Nabi tidak pernah memandang
penantang dan kompetitornya sebagai musuh, tapi sebagai kawan yang belum berada
dalam habitatnya. Mereka yang belum berada di lingkungan Nabi masih tetap dipandang
sebagai kawan yang belum memiliki kesempurnaan kesadaran, pengetahuannya masih
kurang, keyakinannya masih butuh dukungan.
Gaya kemenangan Nabi yang diliputi pertemanan dan persaudaraan ini memang
amat dibutuhkan dalam perjalanan kehidupan pribadi atau kolektif. Sikap damai
dan kasih, sunyi dari benci dan dendam Nabi ini tidak pernah memperpanjang
konflik, tapi segera memecah persaingan menjadi perdamaian dan rekonsiliasi.
Pihak yang kalah segera dapat melupakan kekalahannya karena segera dengan mudah
mengidentifikasi dan meleburkan dirinya dalam kelompok Nabi, sang pemenang.
Rekonsiliasi tidak memerlukan tenggang waktu yang lama sehingga tidak
diperlukan lagi pembentukan tim kerja atau panitia khusus. Rekonsiliasi
bersifat segera sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma untuk ritual dan
upacara rekonsiliasi.
Boleh jadi, para pemenang patut pula mempertimbangkan akhlak, pola,
tingkah, dan cara kemenangan Nabi Muhammad. Hal ini memiliki tingkat kepatutan tinggi,
apalagi buat mereka yang masih saja setia hingga akhir tetap bersama Muhammad
dalam keyakinan dan keislaman.
Bukankah Nabi sebagai idola dan teladan yang paling terdepan bagi umatnya.
Ini tidak berarti bahwa umatnya tidak boleh mengidolakan sesamanya sebagai
wujud kecintaan kepada saudaranya sekaligus hablun minan-nas.
Ternyata, keteladanan kepada Nabi Muhammad saw. tetap saja relevan untuk
diamalkan oleh umatnya hingga kini terlebih dalam momentum pilkada kali ini
yang biasanya senantiasa diwarnai dengan semangat yang demikian menggebu untuk
saling berlomba meraih kemenangan. Sehingga tak jarang memakai berbagai macam
cara termasuk black campaign bahkan kadang cenderung memfitnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar