Tanggal 20 Oktober, genap setahun usia pemerintahan SBY-JK. Sebagai
Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh jutaan rakyat
Indonesia, ekspektasi rakyat begitu besar terhadap pasangan yang mengusung
jargon “Bersama Kita Bisa“ dalam kampanyenya tersebut. Namun realitanya,
ditahun pertama kinerjanya jauh dari menggembirakan, kalau tidak dikatakan sangat
mengecewakan. Hal ini terlihat dari penilaian berbagai lembaga kajian, ekonom
maupun politisi terhadap kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) selama satu
tahun usia mereka. Tidak satu pun dari mereka yang menilai positif. Semua
menilai kinerja kabinet di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Muhammad Jusuf Kalla tersebut jeblok.
Raport Merah
Penilaian antara lain datang dari Lembaga Survei Indonesia (LSI). Lembaga
yang selama ini dikenal sebagai corongnya SBY – JK dalam surveinya menunjukkan
bahwa kepuasan publik atas kinerja SBY – JK menurun tajam dan meraih angka
terendah dalam satu tahun pemerintahan mereka, yakni hanya sekitar 63 persen
atau turun sekitar 16 persen dibanding dengan survei yang dilakukan LSI pada
November 2004, yang sekitar 79 persen. Survei ini dilakukan sebelum pemerintah
mengumumkan kenaikan harga BBM dan tragedi bom Bali II tanggal 1 Oktober 2005.
Menurut polling LSI itu, alasan terbesar turunnya popularitas SBY-JK didasari
atas kondisi ekonomi nasional saat ini yang dinilai lebih buruk dibanding tahun
sebelumnya.
Penilaian "miring" lainnya datang dari Tim Indonesia Bangkit
(TIB). Lembaga yang pimpin oleh Rizal Ramli dan beranggotakan sejumlah pengamat
ekonomi terkemuka di Indonesia ini menyoroti kinerja menteri di Kabinet
Indonesia Bersatu. Menurutnya, Menteri Koordinator (Menko) dinilai tidak
memiliki inisiatif dan strategi untuk meningkatkan penerimaan negara maupun
efisiensi pengeluaran. Menteri lain yang dianggap memiliki kelemahan menonjol
adalah Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati. Dia dianggap
tak mampu menerjemahkan visi-misi SBY-JK dalam rencana pembangunan jangka
menengah (RPJM).
Selain itu, dia gagal merancang skema dana kompensasi yang efektif untuk
kenaikan harga BBM pada 1 Maret dan 1 Oktober. Dia juga dianggap sering
menakut-nakuti rakyat dan presiden dengan isu-isu yang tidak berdasar.
Misalnya, rating utang Indonesia akan turun jika ada moratorium.
Lebih lanjut terhadap kinerja para menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Tim
Indonesia Bangkit memberikan penilaian, Menko Perekonomian, Menteri Keuangan,
serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mendapat nilai F (failure).
Sedangkan Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Pekerjaan Umum,
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan,
Menteri BUMN dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mendapat nilai D (below
average). Sementara hanya dua menteri yang meraih nilai cukup (rating C) yaitu
Menteri Perhubungan dan Menteri Kehutanan. Atas kinerja tersebut, Tim Indonesia
menyatakan bahwa menteri yang mendapatkan rating F dan D sepantasnya segera
diganti.
Penilaian bernada serupa datang dari Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)
yang dikomandoi Ryaas Rasyid. Raport Kabinet Indonesia Bersatu dinilai merah.
Bedanya, AIPI juga menyoroti kian merebaknya praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) dalam tubuh kabinet.
Evaluasi Kabinet
Meski penilaian tersebut tidak dapat disebut sebagai cerminan pendapat mayoritas
rakyat Indonesia, rasanya tak ada salahnya SBY-JK serta para kabinetnya
menyimak berbagai masukan dan penilaian yang muncul, atau lebih tepat disebut
sebagai kritikan tentang kinerja mereka dalam setahun. Sudah saatnya SBY-JK
memperbaiki kinerja pemerintahannya, yang tentu saja dimulai dengan
mengevaluasi kabinet. Apakah kabinet yang ada sekarang masih bisa dipertahankan
atau perlu dilakukan perombakan (reshuffle)? Semuanya ada di tangan SBY.
Mencermati perkembangan terakhir terhadap kinerja Kabinet Indonesia
Bersatu, ada dua skenario yang sangat mungkin terjadi, yaitu:
Pertama, reshuffle kabinet. Desakan publik agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera merombak
kabinetnya semakin santer, termasuk dari partai politik pendukung. Hal ini tentu
saja bisa membuat sebagian anggota kabinet merasa semakin gerah. Dan jika
desakan publik terus menerus dan makin santer, bukan tidak mungkin sebagian
anggota kabinet justru berinisiatif untuk mundur. Kabar terbaru menyebutkan ada
dua menteri yang menyatakan segera mengundurkan diri, yaitu Menteri Pertahanan
dan Menteri Keuangan. Biarpun
tatkala dikonfirmasi menteri tersebut membantahnya.
Secara teoritis, reshuffle kabinet dalam sistem kabinet presidensial yang
dianut Indonesia merupakan suatu hal yang lumrah dan wajar. Sebab hak prerogatif mengangkat
dan memberhentikan personalia kabinet ada pada tangan Presiden. Karenanya,
Presiden kapan saja berhak mengangkat dan memberhentikan para menteri yang
dipandang memiliki kinerja jeblok. Namun, upaya reshuffle seringkali memiliki
nilai politis tinggi karena sangat kuat adanya nuansa tuntutan pembagian
"kue" kekuasaan (power sharing) secara proporsional, berkaitan dengan
perubahan konstelasi dukungan politik kepada duet SBY-JK. Dalam konteks ini,
Presiden SBY sungguh-sungguh dituntut kemampuannya untuk berbagi kekuasaan,
melakukan perubahanperubahan secara mulus, yang dapat memuaskan pihak-pihak
yang secara nyata kini mendukung dan mengamankan pemerintahannya.
Oleh karena itu, upaya reshuffle hanya akan memperkuat opini publik bahwa
ada kaitan kuat antara posisi kekuasaan di partai-partai politik dan posisi
kader partai di kabinet. Seandainya posisi mereka kuat di partai, mungkin sulit
untuk digeser karena partai-partai mereka tentu berupaya mempertahankannya.
Sebaliknya jika posisi mereka di partai lemah, posisinya di kabinet ibarat
"telur di ujung tanduk".
Hal ini juga semakin memberikan pembenaran bahwa telah terjadi persaingan
keras antara "RI-1" dan "RI-2" sehingga muncul istilah
matahari kembar. Maka, jika "RI-2" yang kebetulan mengomandoi Partai
Golkar menuntut pembagian "kue" kekuasaan, dan itu dituruti tanpa
adanya perubahan keseimbangan baru di kabinet, bukan mustahil Presiden SBY akan
kian terjepit dan ibarat "macan ompong" di singgasana kepresidenan.
Implikasinya, kabinet hanya disibukkan "adu otot" antarkekuatan dan
bukan "adu otak" untuk membawa negeri ini ke arah lebih baik. Baru
saja kabinet melangkah ke semester kedua, sudah ribut memperebutkan kursi di
kabinet. Masuk tahun ketiga, bukan mustahil "kongsi" SBY-JK akan
pecah karena masing-masing sibuk menyiapkan diri menghadapi tahun 2009, baik
pemilu legislatif maupun pemilu presiden.
Kedua, Kabinet membubarkan diri. Bahwa kondisi bangsa Indonesia pasca
kenaikan BBM cukup merepotkan pemerintah. Dan jika kekacauan kemudian muncul
dimana-mana secara seporadis ditambah desakan yang semakin kuat dari berbagai
kekuatan politik maka bukan tidak mungkin mundur dianggap langkah yang terbaik
bagi mereka. Dengan demikian, ancaman paling berbahaya bagi kekuasaan SBY bisa
jadi justru berasal dari dalam ring kekuasaannya sendiri.
Harus diakui, tugas kabinet sekarang bisa dianggap sudah sangat berat,
karena berbagai bencana bertubi-tubi melanda negeri ini. Sejumlah anggota
kabinet telah banyak mengeluh akibat terlalu berat tugas yang dipikulnya, juga
banyaknya kritikan karena dianggap tidak cukup kapabel. Sehingga mereka bisa
saja kemudian mengundurkan diri pada saat di mana tekanan publik dan beban
tugas semakin berat. Pertanyaan yang muncul adalah apa yang bakal terjadi, jika
kabinet membubarkan diri?
Menurut Muhammad Muhith, (2005) untuk menjawab pertanyaan tersebut, bisa
dijawab dengan dua skenario. (i) Bahwa SBY akan segera membentuk kabinet baru
yang komposisinya bisa sama, yakni berdasarkan kompromi dengan beberapa
kekuatan politik. Dalam hal ini, semua kekuatan politik bisa jadi telah
melakukan persiapan matang untuk membantu SBY membentuk kabinet baru. (ii) SBY
membentuk kabinet baru yang dengan hak prerogatifnya lebih banyak memasukkan
unsur militer yang notabene telah lama dikenalnya. Dalam hal ini, pemerintahan bernuansa
militeristik bukan tidak mungkin muncul lagi sebagaimana pemerintahan Orde
Baru. Dan jika muncul tekanan sipil, tindakan represif akan dipilihnya.
Catatan Akhir
Beberapa catatan diatas merupakan upaya untuk mencermati perjalanan
pemerintahan SBY – JK di tahun pertama usianya, berikut hal-hal yang
kemungkinan dapat terjadi kedepannya akibat dinamika dan konstelasi politik
yang ada. Semoga apapun yang nanti terjadi merupakan sebuah peristiwa yang
dapat mendewasakan bangsa ini dan membawa negeri ini keluar dari belitan krisis
multi dimensi yang telah lama menderanya. Amien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar