Kalau tidak ada perubahan, pada tanggal 21
Januari 2006 masyarakat Kota Batam akan melaksanakan hajatan demokrasi terbesar
di kota ini yaitu pemilihan kepala daerah (walikota) secara langsung. Pemilihan
kepala daerah ini sebagaimana juga terjadi di daerah lain, merupakan pemilihan
kepala daerah (pilkada) kali pertama yang dilaksanakan secara langsung. Hal ini
sebagaimana amanat dari Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
langsung pada hakikatnya adalah memilih pemimpin yang terbaik bagi daerah. Pemimpin yang mampu memajukan daerah dan
mensejahterakan warganya. Pemimpin seperti ini merupakan aset dan investasi
daerah. Ia sangat dibutuhkan, baik untuk menjawab persoalan yang sedang
dihadapi maupun tantangan ke depan yang semakin berat. Dengan beragamnya
persoalan dan tantangan, tentu hal itu membutuhkan kemampuan yang handal bagi
pemimpin daerah, di samping kewibawaan yang terlahir dari keteladanan dan kejujuran
pribadi, serta didukung dengan tingginya tingkat kepercayaan (legitimasi)
masyarakatnya. Pemimpin daerah harus memenuhi kriteria yang standar, bahkan
dituntut untuk dapat lebih ideal.
Kriteria memilih pemimpin
Menyadari bahwa figur pemimpin daerah yang ideal, sebagaimana diharapkan
tidak mudah untuk didapatkan. Untuk itu masyarakat sebagai pemilih sangat
menentukan dan memegang peranan. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyinggung
beberapa kriteria, agar ada pedoman yang terlebih dahulu diketahui sebelum
menentukan pilihan kepada seorang pemimpin. Riswandha Imawan dalam bukunya
Membedah Politik Orde Baru (Pustaka Pelajar, Yogyakarta 1997), mengutip
pendapat Titus (1986) menjelaskan bahwa ada enam kriteria yang harus dipenuhi seorang
pemimpin, yakni kapasitas intelektual (intellectual capacity); kepercayaan diri
(selfsignificance); daya tahan (vitality); pelatihan (training); pengalaman
(experience); dan reputasi (reputation). Keenam kriteria itu menentukan
persepsi seseorang terhadap masalah sosial yang dihadapi, kemampuan untuk
merumuskan secara jelas pemikiran yang bersifat abstrak, dan stabilitas
emosionalnya. (Fathullah, 2005).
Kapasitas intelektual yang
dimiliki seseorang sangat mempengaruhi kemampuan daya analisisnya. Semakin
tinggi akan membuat seseorang semakin percaya dan yakin pada dirinya, sehingga
semakin perasa bahwa dirinya penting. Lebih lanjut ia mengatakan meskipun
mempengaruhi, ketajaman analisis, tidak sepenuhnya ditentukan oleh banyaknya
pendidikan formal yang ditempuh, atau bukan oleh sederetan gelar yang dimiliki.
Ketajaman ini bisa didapat melalui serangkaian pelatihan, kemauan seseorang
untuk terlibat dalam kehidupan sosial, bersedia bertukar pikiran dengan terbuka
sekali pun dengan yang berbeda pendapat. Di sini kriteria kestabilan emosi dan vitalitas seseorang pemimpin sangat
menentukan.
Disamping kriteria diatas, Fathullah juga mengutip pendapat Segiovanni den
Corbally (1986), yang senyebutkan bahwa hal lain yang juga perlu diperhatikan
oleh masyarakat (pemilih) dalam menentukan pilihannya adalah: popularitas
(popularity); akseptabilitas (acceptability); dan kapabilitas (capability). Hal
ini dikarenakan, popularitas menunjuk kepada hal dikenal atau tidaknya seseorang
calon oleh masyarakat dan popularitas ini dapat dicapai dengan berbagai cara,
baik yang rasional maupun tidak masuk akal. Sedang akseptabilitas menggambarkan
pada penerimaan masyarakat terhadap seorang calon ini akan timbul apabila
rakyat merasa bahwa calon adalah orang yang benar-benar dapat menyuarakan
aspirasi dan kepentingan mereka.
Kemudian kapabilitas menunjukkan kepada kemampuan intelektual seorang
calon. Kemampuan untuk menyerap aspirasi rakyat, merumuskan aspirasi ke dalam
bentuk pernyataan atau kebijakan yang jelas, dan menyampaikan kepada rakyat
dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Diluar sejumlah kriteria yang disebutkan diatas, masih ada beberapa
kriteria lain. Hal ini merujuk pada pendapat Dadang Hawari, dalam bukunya
IQ,EQ,CQ, & SQ: Kriteria SDM Pemimpin Berkualitas (FK-UI, 2003), bahwa
pemimpin haruslah berkualitas dan memenuhi kriteria kecerdasan intelektual
(IQ/Intelligent Quotient); kecerdasan emosional (EQ/Emotional Quotien); kecerdasan
kreatifitas (CQ/Creativity Quotient); dan kecerdasan spiritual (SQ/Spritual
Quotietn). Dan keempat hal tersebut haruslah merupakan suatu kesatuan dan
terintegrasi pada diri seseorang pemimpin.
Lebih lanjut Dadang Hawari menjelaskan, guna mendapatkan tingkat kecerdasan
intelektual yang tinggi, seseorang haruslah memperoleh pendidikan sejak dini.
Melalui proses pendidikan inilah IQ seseorang dapat berkembang. Sedangkan
seorang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah yang mampu
mengendalikan diri, sabar, tekun, tidak emosional, tidak reaktif, serta senantiasa
positive thinking. Di samping itu dalam kepemimpinannya, ia tidak tergesa-gesa
dalam mengambil keputusan, lebih mengutamakan rasio daripada emosi, tidak
merasa dirinya paling pandai dan paling benar, serta tawadlu (rendah hati).
Kemudian, kecerdasan kreatifitas bagi seseorang pemimpin adalah pemimpin yang
kreatif, mampu mencari dan menciptakan terobosan-terobosan dalam mengatasi
berbagai kendala atau permasalahan yang muncul. Tipe pemimpin dengan CQ yang
tinggi ini mampu menghasilkan ide-ide baru (orisinil) dalam upaya meningkatkan
daya saing di era globalisasi. Ia bersikap dinamis, fleksibel, komunikatif, dan
aspiratif, serta tidak dapat berdiam diri, selalu menginginkan
perubahan-perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik. Dan yang tak kalah
pentingnya adalah SDM pemimpin dengan tingkat kecerdasan spritual yang tinggi,
yaitu pemimpin yang tidak sekadar beragama, tetapi terutama beriman dan
bertakwa. Seorang pemimpin yang beriman adalah yang percaya bahwa Tuhan itu
ada, Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa-apa yang diucapkan,
diperbuat bahkan isi hati atau niat manusia. Pemimpin dapat membohongi rakyatnya, tapi tidak
dapat membohongi Tuhannya. Tipe kepemimpinan seperti ini jauh dari melakukan
perbuatan Korupsi.
Dan sebaliknya, dengan keberimanannya itu pula, ia menjadi orang yang
paling tegas memberantas korupsi tersebut. Bahwa sebagaimana disebutkan dalam
UU No 32 Tahun 2004, syarat pertama dari calon kepala daerah adalah ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Syarat yang
tercantum pada pasal 58 ini erat kaitannya dengan keharusan bersih diri dari
perbuatan korupsi. Persyaratan ketakwaan yang menuntut bersih korupsi ini harus
dipertamakan dari awal pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, agar
tidak menimbulkan persoalan korupsi yang serius dikemudian hari.
Menjadi pemimpin adalah
amanat
Seorang pemimpin yang memiliki kriteria diatas atau setidaknya mendekati,
akan memiliki kesadaran bahwa menjadi pemimpin adalah amanat. Maka kekuasaan
yang ada pada dirinya tidak dipergunakan untuk gagah-gagahan tetapi untuk
mengabdi dan menjalankan tugas. Pemimpin berkewajiban untuk melayani bukan
minta dilayani. Hal ini sesuai dengan pesan kenabian “Sayyid al qaum
khadimuhum”, yakni “Pemimpin umat adalah pelayan mereka”, (Hidayat Nur Wahid,
2003).
Berkenaan dengan soal kepemimpinan ini, menarik untuk mencermati pidato
politik Abu Bakar Sidhiq, khalifah pertama dalam sejarah Islam, saat dirinya
dinobatkan sebagai pemimpin umat Islam sepeninggal Rasulullah Muhammad SAW. Dalam
pidatonya, beliau mengatakan, ''Wahai sekalian manusia, sekarang aku telah
kalian angkat untuk memegang urusan kalian ini, padahal aku bukanlah orang
terbaik di antara kalian. Karenanya, jika aku berjalan di atas kebenaran dan
keadilan, maka dukunglah aku. Sebaliknya, jika aku menyimpang dari jalan
kebenaran dan keadilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Namun, bila aku melanggar perintah-Nya dan tidak menjalankan sunah
Rasul-Nya, maka janganlah kalian mengikuti aku.''
Pidato ini, menurut Taufik Effendi (2005) memberi pemahaman kepada kita
bahwa pemimpin harus mempunyai kepribadian jujur dan komitmen (sidiq), dapat
dipercaya dan bertanggung jawab (amanah), cerdas serta memiliki kepekaan yang
tinggi (fatonah), dan mau membuka ruang dialog dengan rakyatnya (tabliq). Atau,
seorang pemimpin wajib memiliki keyakinan dan komitmen (conviction), mempunyai
kejujuran dan konsisten (character), berani dan bertanggung jawab atas tindakan
yang diperbuat (courage), mempunyai ketenangan jiwa serta keteduhan batin
(composure), dan ahli serta profesional (competence). Tanpa ini semua, pemimpin
yang hadir di tengah-tengah rakyat hanya akan melahirkan kehancuran bukan
kejayaan yang diharapkan.
Catatan Akhir
Seorang pemimpin ibarat seekor burung garuda. Mampu terbang tinggi di udara
dan dengan kepaknya sanggup memberikan dorongan maupun rangsangan bagi
orang-orang yang dipimpinnya. Sehingga mereka menjadi kreatif, inovatif, dan
memiliki semangat dan ketahanan hidup (survive). Dengan kata lain, seorang
pemimpin harus berkepribadian--meminjam istilah Ki Hajar Dewantara, ing ngarso
sung tulodo ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Yaitu tatkala berada di
barisan depan mampu memberikan tauladan, saat berada di tengah sanggup memotivasi,
dan di kala berada di belakang mampu membangkitkan daya dorong (motivasi).
Figur pemimpin seperti ini akan mampu menciptakan kepemimpinan yang
demokratis, dapat meningkatkan efektifitas dan produktifitas kerja yang
muaranya visi besar Kota Batam menjadi Bandar Dunia yang Madani tidak hanya
sekedar cita-cita yang mengawang-awang jauh dari harapan, namun dapat segara
direalisasikan. Sehingga Batam dapat tumbuh dan berkembang menjadi kota pantai
yang setara dengan kota lain di dunia dan membawa masyarakatnya menjadi
masyarakat yang religius, mandiri dan berperadaban (civil society).
Oleh sebab itu dibutuhkan kecermatan dalam memilih pemimpin. Seorang
pemimpin hendaknya dipilih karena berbagai pertimbangan yang komprehensif,
bukan semata karena faktor kekayaan materi dan status sosial yang dimiliki.
Mengingat peran pemimpin sangat vital, yaitu sebagai nahkoda kapal rakyat yang
sedang berlabuh di samudra luas menuju pelabuhan cita-citanya; hidup
berkeadilan dan berkemakmuran. Namun demikian, kesemuanya berpulang kepada kemauan
dan keputusan kita, masyarakat pemilih; apakah akan mempertahankan dan
mengembangkan nilai-nilai demokrasi atau merubah demokrasi menjadi otokrasi.
Untuk itu eling lan waspodo, hati-hati dan waspada, adalah sikap terbaik dalam
memilih pemimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar