Kontroversi Desk Pilkada


Di tahun 2005, paling tidak ada 11 Provinsi, 180 Kabupaten dan 35 Kota akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka. Baik memilih gubernur, bupati maupun walikota. Keseluruhannya terdapat 226 kepala daerah (KDh) yang akan dipilih dalam pilkada tersebut. Pilkada secara langsung dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diantara 226 kepala daerah yang akan dipilih langsung itu, adalah mengganti pejabat yang sudah berakhir masa jabatannya, sebagian lainnya memilih kepala daerah untuk pertama kalinya, karena merupakan daerah pemekaran, yang saat ini masih dipimpin oleh seorang Penjabat.

Kendala Pilkada

Sesuai rancangan agenda politik pilkada yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri (Depdagri), pelaksanaan pemberian suara dalam pilkada tersebut akan dilakukan pada minggu ketiga Juni 2005 dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara (NAD dan Sumut) adalah provinsi yang mempunyai kabupaten terbanyak yang akan melakukan pilkada, yaitu 17 kabupaten di NAD dan 18 kabupaten di Sumut.

Dalam perkembangannya, ada signal bahwa pelaksanaan pilkada di beberapa daerah terancam gagal dilaksanakan sesuai jadwal, yaitu Juni 2005. Sebagaimana amanat UU nomor 32 tahun 2004 menyebutkan, bahwa Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Sementara itu, diberitakan bahwa beberapa KPUD menyatakan tidak siap melaksanakan Pilkada pada bulan Juni dan mereka mengusulkan agar diundur ke September 2005.

Disamping persoalan persiapan teknis diatas, persoalan yang tidak kurang peliknya adalah berkaitan dengan kepastian anggaran. DPRD di beberapa daerah belum membahas anggaran untuk pilkada, sebagian lainnya sudah menganggarkan, namun jumlahnya jauh dari yang diharapkan. Masalah kepastian anggaran ini juga terkait dengan kepastian jumlah anggaran yang akan disediakan dalam APBN.

Persoalan lain yang tak kalah pentingnya adalah perkara uji materi (judicial review) yang dilakukan oleh 21 KPUD dan sejumlah LSM terhadap UU nomor 32 tahun 2004. Mahkamah Konstitusi (MK) telah melaksanakan sidang beberapa kali dan diantaranya menghadirkan saksi ahli. Dari keterangan beberapa saksi ahli tersebut menyatakan sependapat dengan materi tuntutan KPUD dan LSM yang menyatakan UU Nomor 32 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945.

Jika kemudian MK memenuhi tuntutan tersebut, maka dipastikan akan membawa implikasi: (i) UU Nomor 32/2004 akan berubah, dan perubahannya bisa sebagian ataupun keseluruhan. (ii). Perubahan ini harus melalui pembahasan oleh Pemerintah dan DPR. Maka dapat dipastikan membutuhkan waktu yang tidak pendek. (iii). Untuk menyiasatinya, Pemerintah dapat mengajukan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). Meski demikian, pembentukan Perpu tetap memakan waktu. (iv). Kalau betul terjadi perubahan atas UU nomor 32 tahun 2004, maka dengan sendirinya (Peraturan Pemerintah) PP nomor 6 tahun 2005 yang baru ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga harus diubah. Tentu saja, konsekuensi dari perubahan tersebut dapat menjadi salah satu alasan mundurnya jadwal Pilkada.

Desk Pilkada

Alih-alih mencari solusi, pemerintah justru menambah “masalah”. Melalui Surat Keputusan Mendagri Nomor 120.05110/2005 tertanggal 2 Maret 2005, pemerintah membentuk Desk Pilkada. Kontan pembentukan desk ini memicu banyak pertanyaan dan kecurigaan dari berbagai kalangan. Apa urgensi pemerintah membentuk desk ini?. Mengingat Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tak mengamanatkan hal itu.

Kalangan pro demokrasi mencurigai jangan-jangan pemerintah sedang berupaya melakukan intervensi kembali pada proses pilkada. Intervensi yang dapat mempengaruhi proses politik sehingga calon yang didukung pemerintah bisa menang. Ada beberapa argumen yang patut dikemukakan terkait hal ini.

Pertama, sebagaimana disebutkan dalam SK Mendagri tersebut, ada tiga bidang yang ditangani desk yang beranggotakan kalangan akademisi, kejaksaan, kepolisian dan juga dari Depdagri, yaitu bidang sosialisasi dan fasilitasi, bidang politik dan kamtibnas, serta bidang advokasi. Pemerintah melalui desk ini telah mengambil wewenang KPUD sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah (pilkada). Cara yang dipakai Depdagri ini mirip cara Orde Baru. Gaya pemerintahan otoriter karena mengambil alih kewenangan KPUD yaitu sosialisasi dan evaluasi, juga peran monitoring yang seharusnya dilakukan oleh Panwas.

''Saya kira pembentukan Desk Pilkada itu merupakan bukti paling konkret tentang intervensi pemerintah ke dalam mekanisme pemilu yang seharusnya independen. Desk itu merupakan tindak lanjut dari langkah sistematis yang selama ini diambil pemerintah untuk mengebiri KPU,'' kata pakar politik UGM Riswandha Imawan. (08/03).

Kedua, indikasi lain yang memperkuat intrervensi pemerintah adalah anggaran desk ini diambil dari APBN 2005. Yang menjadi pertanyaan, apakah saat menyusun APBN 2005 sudah ada alokasi anggaran untuk membentuk desk itu? Jawabnya tegas, tidak. Karena pembentukan desk ini jauh setelah APBN 2005 disahkan. Oleh karenanya anggaran yang dipakai adalah anggaran susulan. Kalau itu anggaran susulan berarti ada yang dikorbankan. Pertanyaan berikutnya, anggaran siapa yang dikorbankan?. Besar kemungkinan dalam hal ini yang dikorbankan adalah anggarannya KPU.

Ada catatan lain, pembentukan Desk Pilkada yang melibatkan sejumlah akademisi dan pakar politik ternyata tanpa meminta persetujuan kepada yang bersangkutan. Ada 20 nama akademisi, pengamat, serta mantan tentara dan birokrat yang dilibatkan sebagai tim ahli. Tujuh nama di bidang sosialisasi dan fasilitasi, enam nama di bidang politik dan kamtibmas, dan tujuh nama di bidang advokasi.

Deputi Direktur Eksekutif Cetro, Hadar Navis Gumay, menilai cara Depdagri memasukkan nama-nama para ahli di Desk Pilkada tersebut kurang etis. Dia mengaku sudah menghubungi beberapa nama yang masuk Desk Pilkada, dan mereka menolak. ''Saya sudah hubungi Syamsudin Haris, Kristiadi, dan Pratikno, mereka semua tidak tahu namanya dicatut dan mereka menolak bergabung,'' tegas Hadar.

Maka bila Desk Pilkada ini terus dilanjutkan dan menjalankan tugasnya, hal ini akan menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan pilkada dan proses demokratisasi di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar