Kepada Bupati dan Wakil Bupati Blora


Berdasar hasil pemilihan langsung kepala daerah (pilsungkada) Kabupaten Blora pada 27 Juni 2005 yang lalu, terpilihlah Ir. Basuki Widodo dan Drs. RM. Yudhi Sancoyo, MM sebagai jawaranya. Yang secara resmi pada 11 Agustus 2005 dilantik oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto sebagai Blora-1 dan Blora-2 periode 2005 – 2010.

Menjadi Pemimpin

Menjadi Bupati dan Wakil Bupati adalah menjadi pemimpin bagi seluruh masyarakat Blora. Bukan pemimpin bagi warga masyarakat yang memilihnya saja, namun juga bagi masyarakat Blora yang kemarin tidak mendukung dan memilihnya.

Pemimpin, secara sederhana didefinisikan sebagai seorang yang secara terus menerus membuktikan bahwa ia mampu mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain, lebih dari kemampuan mereka (orang lain itu) mempengaruhi dirinya. (Ryaas Rasyid, 2002). Sedangkan kepemimpinan adalah sebuah konsep yang merangkum setiap segi dari interaksi pengaruh antara pemimpin dengan pengikut dalam mengejar tujuan bersama. Dengan asumsi, suasana kepemimpinan hanya mungkin terbentuk dalam suatu lingkungan yang secara dinamis melibatkan hubungan diantara sejumlah orang. Seseorang bisa mengklaim dirinya sebagai seorang pemimpin manakala ia memiliki pengikut atau orang yang dipimpin. Selanjutnya antara pemimpin dan para pengikut terjalin ikatan emosional dan rasional menyangkut kesamaan nilai (value) yang ingin disebar dan ditanam serta kesamaan tujuan yang ingin dicapai.

Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah. Selain persyaratan yang harus dipenuhi, apa yang dikerjakan oleh seorang pemimpin akan dipertanggungjawabkan dihadapan pemilih dan di akhirat kelak. Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki sifat dan mental yang baik. Artinya ia harus mampu menjadi teladan bagi yang dipimpinnya. Pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari mungkin hanya salah satu ungkapan betapa seorang pemimpin menjadi panutan mereka yang dipimpinnya.

Era Transisi dan Agenda Mendesak

Sejalan dengan hal tersebut dalam konteks Kabupaten Blora muncul sebuah pertanyaan. Mampukah Bupati dan Wakil Bupati terpilih membawa Blora ke arah yang lebih baik dari kondisi sekarang? Pertanyaan ini penting karena sebagian pengamat berpendapat bahwa saat ini adalah era transisi. Sebuah era yang menurut Guillermo O'Donnel dan Philippe C Schmitter (1993) dinyatakan sebagai era pertaruhan dan sangat menentukan masa depan. Sebab di masa tersebut adalah masa abnormalitas yang penuh dengan ketidakpastian. Mereka yang seharusnya menjadi lokomotif bagi keberlangsungan demokrasi, justru terlibat dalam penciptaan situasi yang jauh dari nilai dan spirit demokrasi. Tiadanya kepastian hukum, ekonomi, dan politik. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), menjamurnya praktik KKN, bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran, yang semestinya mendapat prioritas untuk dicarikan solusinya.

Diatas adalah gambaran dari kondisi dan realitas yang terjadi saat ini. Hal ini menyiratkan bahwa era kepemimpinan “Bayu” akan sangat menentukan arah dan masa depan Kabupaten Blora. Berkembang kearah yang lebih baik atau justru sebaliknya. Secara politis, pemimpin yang dipilih secara langsung memiliki legitimasi politik yang sangat kuat. Namun berbekal legitimasi saja tentu tak cukup untuk menjadi pemimpin orkestra masyarakat Blora sehingga tercipta harmonisasi pembangunan di Kota Blora tercinta.

Meminjam ungkapan Gubernur Mardiyanto pada saat melantik Basuki dan Yudhi bahwa yang menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera digesa untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik adalah pertama, Blora yang dari tahun ke tahun selalu dirundung kekeringan dan kedua, minimnya invetasi yang masuk dan menanamkan modalnya ke Blora. Inilah dua agenda mendesak yang harus dilakukan oleh Bupati dan Wakil Bupati di tahun pertama menjadi nahkoda kapal pembangunan Blora. Kapasitas kepemimpinan (leadership) dan kemampuan manajerial akan sangat dominan menjawab atas permasalahan tersebut. Dan biarlah masyarakat Blora nanti yang akan menilai bagaimana kualitas dan kemampuan pemimpin Blora tersebut. Penulis saat ini merasa tidak memiliki kapasitas sedikitpun untuk membangun opini dan persepsi masyarakat Blora terhadap hal tersebut.

Tiga Cermin buat Pemimpin

Diakhir tulisan ini, ijinkan penulis mengutip pernyataan mantan Kapolri Hoegeng, bahwa seorang pemimpin harus memiliki tiga buah cermin. Pertama, seorang pemimpin harus bercermin kepada sejarah, kedua, bercermin kepada bawahannya dan yang ketiga, bercermin kepada kawan-kawan atau sahabat dekatnya.

Bagi seorang pemimpin, nasihat sepuh dari yang pernah menjadi anggota Petisi 50 ini, sangatlah penting. Sebab sejarah, para bawahan dan kawan-kawan terdekat, adalah sesuatu yang akan dengan jujur dan obyektif memberikan pantulan siapa sesungguhnya seorang pemimpin dan bagaimana sebaiknya menjalankan kepemimpinannya.

Pertama, Sejarah adalah sesuatu yang disadari atau dipersepsi oleh masyarakat hari ini tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, untuk mendorong dan menggerakkan masyarakat tersebut ke masa depan, termasuk menggerakkan cita-cita yang ingin dicapai (Prof. Mattulada). Atas dasar itulah, kesadaran kekinian seorang pemimpin tentang masa lalu dan masa depan menjadi begitu penting untuk dicermati dan diteliti. Benarkah seorang pemimpin sanggup memanfaatkan masa lalu — entah peristiwa, langkah, atau bahkan hanya sekadar sebuah momen kecil --untuk mendorong, memberi inspirasi dan menggerakkan organisasi atau masyarakat yang dipimpinnya ke masa depan?

Hal ini sejalan dengan jargon populer dari Bung Karno, “jangan sekali-sekali melupakan sejarah”. Maknanya, bagi seorang pemimpin, sejarah adalah sebuah cermin untuk dapat melihat secara jujur apakah cara berpikir, bersikap dan tindakan yang dilakukannya telah berada di jalan yang benar atau sebaliknya.

Tokoh yang tahu persis bagaimana bercermin di depan sejarah adalah Sonia Gandhi. Dalam pemilu terakhir di India, Partai Kongres yang dipimpinnya memenangkan mayoritas kursi di parlemen. Sehingga posisi Perdana Menteri pun sudah di depan mata. Namun apa yang dia lakukan?. Dalam sebuah konferensi pers yang dicatat paling emosional, dengan rendah hati dia menyerahkan tampuk politik tertinggi itu kepada Manmohan Singh. Sebab dia tahu betul ganasnya pertikaian politik India yang masih sarat diwarnai hal-hal yang bersifat primordial, terutama persoalan etnis. Hal mana ini telah merenggut nyawa ibu mertuanya Indira Gandhi dan Rajiv Gandhi suaminya. Godaan kekuasaan, yang bagi orang lain merupakan sebuah instrumen yang mungkin dapat digunakan untuk menghapus duka dan dendam karena telah kehilangan orang-orang tercinta. Namun hal itu tidak dilakukannya justru dia menampiknya dengan elegan.

Media pers barat kemudian menulis, bahwa di depan sejarah Sonia telah mencatat hal paling luhur dan teladan. Paling patut bagi siapapun yang ingin meraih prestasi kemanusiaan puncak dengan menolak kekuasaan—hal yang justru diperjuangkannya dengan darah dan air mata. Di depan sejarah, Sonia telah mempertontonkan sisi lain dari perjuangan perebutan kekuasaan. Justru sisi paling manusiawi yaitu menolaknya untuk menghindarkan pertumpahan darah. Itulah contoh pemimpin yang bercermin dari sejarah.

Kedua, Bawahan atau anak buah, menurut Hoegeng adalah cermin yang paling buruk. Mungkin ia ingin menyindir realitas bahwa kultur para bawahan ---terutama di negeri ini, adalah berbuat dan bekerja hanya untuk menyenangkan para pemimpin atau atasan mereka – asal bapak senang (ABS). Namun disisi lain, ia menegaskan melalui bawahanlah seorang pemimpin dapat dibuktikan mengenai keberhasilan dan kegagalannya. Melalui bawahan pula, seorang pemimpin dapat mengetahui dengan pasti dan mengukur dengan tepat efektivitas kebijakan dan langkah-langkah yang diambilnya. Atas dasar tersebut bercermin kepada bawahan bagi seorang pemimpin, adalah hal yang mutlak.

Sebab, sebagaimana dikatakan Collin Powell, mantan Menlu AS, dalam The Secret Leadership of Collin Powell: “Ketika para prajurit tidak lagi membawa masalahnya kepada anda, anda telah berhenti memimpin mereka. Mereka mungkin telah kehilangan keyakinan bahwa anda dapat membantu mereka. Atau berkesimpulan bahwa anda tidak peduli pada mereka. Dan kedua-duanya adalah merupakan kegagalan kepemimpinan.”

Seseorang yang berusaha meyakini hal tersebut adalah mantan Presiden Gerald Ford. Ketika menduduki Gedung Putih ia melakukan tradisi yang unik bagi seorang pemimpin, yakni pada pekan ketiga setiap bulan sepanjang masa jabatannya, dia mengundang kawan-kawan dekat dan bawahannya untuk bertemu. Merekalah penasihat sekaligus pengeritik saya yang paling jujur, kata Ford, melukiskan tentang tamunya tersebut. Di hadapan kawan-kawan dekat, terutama kawan-kawan masa kecil dan masa remaja, kita dapat memperoleh nasihat paling berharga sebab mereka tak akan segan-segan menganggap kita bodoh, seperti pada masa-masa pertumbuhan itu, tambahnya.

Ketiga, Sahabat. Microsoft adalah salah satu yang dapat menjadi contoh. Sejarah Microsoft adalah buah dari sebuah ikatan persahabatan. Antara seorang Bill Gates dengan Paul Allen sejak mereka masih sekolah menengah. Sebagai seorang mahasiswa matematika di Harvard, Gates tetap berkorespondensi dengan sahabatnya Allen di Stanford University dan saling berkirimkiriman kliping majalah komputer. Yang pada akhirnya keduanya sepakat untuk mendirikan Microsoft di tahun 1975. Dan ketika kemudian Microsoft tiba pada puncak kejayaannya, kedua sahabat ini masih saling bahu membahu. Seperti telah di ketahui, Gates akhirnya mundur dari posisi CEO dan lebih berkonsentrasi pada dunia riset, sedang kendali Microsoft kemudian diserahkan kepada sang sahabat Allen. Diantara kedua pemimpin bisnis raksasa ini ternyata tersimpul tali persahabatan yang saling bersinergi dan saling melengkapi. Seorang pemimpin memang seyogyanya memiliki sahabat-sahabat dekat.

Semoga tulisan yang sederhana ini dapat menjadi inspirasi bagi Bupati dan Wakil Bupati dalam memimpin masyarakat Blora dan membawa Blora yang Adil, Sejahtera, Dinamis dan Bermartabat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar