Implikasi Tertundanya RUU Pemilu


Tekad DPR untuk mengesahkan RUU Pemilihan Umum (Pemilu) pada Selasa, 26 Februari 2008 akhirnya tak terwujud. Penundaan ini merupakan kali keempat sejak dijadwalkan pada Desember 2007. Padahal baru akhir pekan lalu, DPR menyampaikan optimismenya kepada publik bahwa revisi Undang-undang No12/2003 tentang Pemilu akan rampung pada Selasa (26/2) kemarin. Optimisme itu praktis menjadi pepesan kosong, karena hingga hari ini kita belum memiliki UU Pemilu yang baru. Dan kemarin, DPR kembali menghembuskan keyakinannya bahwa RUU dimaksud bisa dirampungkan Kamis (28/2).

Isu Krusial

Tertundanya beberapa kali pengesahan RUU Pemilu dikarenakan masih terdapat beberapa isu krusial. Memang pimpinan DPR dan mayoritas fraksi telah sepakat kalau tidak ada titik temu terhadap isu krusial tersebut maka dilakukan voting. Namun pemerintah menolak voting dan mewacanakan kembali ke UU No 12/2003 bila tak berkenan pada hasil voting dalam rapat paripurna DPR, Kamis (28/2).

Apa saja isu-isu krusial yang menyebabkan terjadinya penundaan RUU yang menjadi dasar hukum pelaksaan pesta demokrasi pada tahun 2009 nanti. Beberapa isu krusial tersebut antara lain:

Pertama, Parliamentary Threshold (PT). PT adalah ambang batas minimal raihan kursi dalam Pemilu 2009, agar partai politik peserta pemilu bisa mendudukkan wakilnya di DPR. Dimasukannya klausul PT di RUU Pemilu ini ada merupakan sebuah kemajuan bagi sistem pemilu di Indonesia. Semangat yang dibangun adalah memberikan batasan ideal jumlah peserta pemilu, dan PT disebut-sebut merupakan langkah yang efektif untuk melakukan penyederahaan parpol.
Memang jika dikaitkan  dengan sistem presidensial  yang dianut, sistem partai  yang sederhana dirasakan  sangat cocok. Sistem multipartai  yang digunakan saat ini  hanya cocok bila diterapkan  dalam sistem parlementer.  Fragmentasi politik yang  terlalu luas telah menjadi  masalah klasik dunia politik  Indonesia.

Paling tidak ada tiga persoalan yang belum ada kesepakatan terkait klausul PT yaitu (a) besaran angka PT, dengan varian: 1,5 persen, dua persen, tiga persen, dan untuk Pemilu 2014 tiga persen. (b) masalah kursi parpol yang tidak mencapai angka PT, apakah  didistribusikan kepada partai lain yang lolos PT atau dinyatakan hangus. (c) bila kursi tersebut diberikan kepada partai lain, persoalan yang muncul adalah kursi itu dikumpulkan di tingkat nasional dan didistribusikan secara proporsional kepada partai-partai yang lolos PT; atau didistribusikan kepada partai yang mendapat sisa suara terbanyak atau persentase tertentu.

Kedua, Electoral Threshold (ET). ET atau ambang batas persentase suara yang diraih parpol dalam suatu pemilu yang memungkinkannya ikut pada pemilu berikutnya. Ketentuan ET merupakan klausul yang telah ada di UU No 12/2003 tentang Pemilu, sehingga terjadi semacam kesepakatan diantara fraksi-fraksi untuk tidak mencabut ET tiga persen di Pemilu 2009. Namun, untuk Pemilu 2014 tak lagi diberlakukan ET tapi langsung PT. Sebelumnya, partai-partai kecil yang terganjal ET untuk ikut Pemilu 2009 setuju dengan pemberlakuan PT asalkan partai-partai yang punya kursi di DPR tapi tak lolos ET tiga persen bisa otomatis ikut Pemilu 2009 seperti halnya yang lolos ET. Apakah pemberlakuan ET ini masih tetap ada di Pemilu 2014 ataukah cukup PT saja, atau justru kedua-duanya? Ini yang juga belum ada kesepakatan.

Ketiga, Sisa suara. Setelah jumlah kursi per daerah pemilihan (dapil) disepakati yaitu 3-10 atau lebih kecil dari Pemilu 2004 sebesar 3-12, penghitungan sisa suaranya masih menjadi persoalan. Paling tidak ada tiga pendapat terkait masalah ini yaitu : (a) sisa suara dibagi habis di dapil sebagaimana UU No 23/2003. (b) sisa suara habis dibagi di dapil dengan syarat yang berhak mendapat sisa suara hanya yang telah memperoleh lebih dari 50 persen Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). (c) sisa suara ditarik ke tingkat provinsi.

Keempat, Jumlah kursi. Sebagian besar fraksi-fraksi di DPR sepakat untuk menambah jumlah kursi dari semula 550 menjadi 560. Namun, masih berkembang beberapa alternatif terkait kursi partai yang tak lolos PT, apakah hangus atau didistribusikan kepada partai lain yang lolos PT. Hal ini memunculkan berbagai rumusan, dan rumusan yang berkembang hingga saat ini ada dua, yaitu (a) sebanyak-banyaknya 560 dan (b) sebanyak 560.

Kelima, Cara pemberian suara.  Yang lazim dipakai dipakai selama ini pada pelaksaan pemilu di negeri ini dalam pemberian suara adalah dengan mencoblos surat suara. Sehingga muncul ditengah masyarakat kita ungkapan mencoblos setiap kali pesta demokrasi itu dilaksanakan. Namun istilah itu bisa saja berganti apabila opsi lain disetujui untuk dipergunakan pada pemilu 2009 nanti. Memang telah terjadi wacana untuk menggati cara pemberian suara di pemilu nanti, yaitu dengan memberi tanda (centang) pada surat suara. Suara di DPR masih terpecah menjadi dua antara tetap mempergunakan cara yang selama ini telah berjalan yaitu mencoblos dan memberi tanda (centang) pada surat suara.

Keenam, Soal eks napi menjadi caleg. Opsi ini muncul guna mengakomodir suara para eks napi yang ternyata jumlahnya cukup besar dinegeri ini disamping isu Hak Azasi Manusia (HAM). Namun dari ide mulia tersebut kemudian muncul persoalan yakni eks napi seperti apa yang bisa dan boleh mengajukan diri sebagai caleg. Dari berbagai opsi yang berkembang di DPR akhirnya mengerucut pada dua hal yaitu (a) tidak pernah dipidana penjara dengan ancaman lima tahun, dan (b) tidak sedang dipidana penjara dengan ancaman lima tahun.

Implikasi

Dari sejumlah persoalan krusial diatas, kita berharap segera dicarikan titik temu sehingga pengesahan RUU Pemilu ini tidak tertunda lagi. Penting bagi DPR untuk memahami bahwa penundaan itu membawa konsekuensi logis bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Agenda kerja KPU bisa berantakan kalau RUU yang satu ini terus menerus ditunda penyelesaiannya.

KPU sendiri telah berharap RUU Pemilu bisa disahkan DPR Selasa kemarin. Sebab, dengan RUU itu KPU bisa menindaklanjutinya dengan aturan pelaksanaan. Namun apa dikata. KPU juga sudah mengingatkan bahwa jika pengesahan RUU itu tertunda-tunda, akan memengaruhi semua jadwal KPU. UU menetapkan bahwa persiapan pemilu harus sudah dimulai setahun sebelumnya. Kalau jadwal persiapan harus dimundurkan karena kekosongan UU, berarti pembuat undang-undang telah melanggar undang-undang

Benar bahwa dari waktu ke waktu penyelenggaraan pemilu harus makin efisien dan efektif, dan karenanya UU yang mendasari pemilu harus terus disempurnakan, sesuai tuntutan perubahan dan perkembangan zaman. Akan tetapi, persoalan yang mestinya sederhana jangan dibuat rumit hanya karena kepentingan sempit, apalagi kepentingan orang per orang. Mereka yang terlibat dalam perumusan RUU Pemilu harus fokus pada kepentingan nasional, utamanya kepentingan segenap lapisan rakyat Indonesia.  Singkirkan kepentingan sempit, yang tak jarang diperjuangkan dengan gigih dengan mengatasnamakan kepentingan orang banyak.

Belajar dari persiapan Pemilu 2004 yang melahirkan ekses itu, kita imbau agar DPR segera merampungkan revisi UU No 12/2003, agar tersedia waktu yang memadai bagi KPU untuk mengerjakan semua tugasnya mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu 2009.

Hal mendesak yang berkait dengan persiapan pelaksanaan Pemilu 2009 adalah verifikasi partai-partai politik yang akan ikut di Pemilu 2009. Hingga batas akhir waktu penyerahan berkas yang ditentukan Departemen Hukum dan HAM, tercatat 47 parpol yang akan dilakukan verifikasi. Yang tak kalah pentingnya adalah pemutakhiran data pemilih berdasarkan data base penduduk yang rencananya diserahkan pemerintah ke KPU April 2008. Itu di tingkat KPU pusat. Tentu saja KPUD juga harus membuat persiapan serupa.

Sementara ini, kita berasumsi bahwa pekerjaan KPU/KPUD untuk menyiapkan penyelenggaraan Pemilu 2009 jauh lebih rumit dibanding sebelumnya. Sebab, ada beberapa perubahan. Seperti, jumlah pemilih per TPS bertambah menjadi 500 pemilih dari sebelumnya 300 pemilih. Barangkali, yang paling memusingkan adalah konsekuensi bertambahnya daerah pemilihan (dapil) sejalan dengan pemekaran daerah pasca-Pemilu 2004. Belum lagi mengenai perubahan jumlah kertas suara di setiap TPS.

Mengingat kerumitan persiapan Pemilu 2009 seperti itu, tidaklah berlebihan jika KPU/KPUD diberi waktu yang memadai untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kita harus upayakan Pemilu 2009 berjalan tertib, tanpa ekses dan sukses. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar