Wayang, Budaya Adiluhung Bangsa


Berdasar data arkeologi, mengutip H. Gunadi Kasnowihardjo dalam artikelnya yang berjudul Wayang Purwa: Dalam Kajian Arkeologi, Seni dan Jatidiri Bangsa, istilah wayang di Jawa sudah dikenal sejak abad X AD yaitu pada masa pemerintahan Raja Balitung, seperti tersebut pada inskripsi atau prasasti Penampihan yang berangka tahun 820 ç atau tahun 898 AD dan prasasti Wukayana berangka tahun 829 ç atau tahun 907 AD (Istari, 2003: 52). Kemudian di zaman Jenggala dan Kediri hingga masa Majapahit di daerah Jawa Timur berkembang Wayang Beber (Timoer, Soenarto, 1985). Pada masa pemerintahan Kerajaan Demak, wayang kulit berkembang lebih sempurna baik perlengkapan fisik seperti kelir, batang pohon pisang, dan lampu blencong maupun jenis instrumen gamelannya (Mertosedono, 1993).  

Dari data tersebut, terlihat bahwa wayang merupakan budaya bangsa yang telah tumbuh dan berkembang sangat lama. 

Wayang merupakan kekayaan nusantara yang lahir dari budaya asli masyarakat Indonesia yang mencintai kesenian. 

Wayang juga merupakan salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. 

Wayang merupakan seni pertunjukan asli dari Indonesia yang selalu menceritakan nilai-nilai, norma, tradisi dan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Setiap pertunjukan seni wayang, cerita yang terkandung di dalamnya merupakan simbol dari kehidupan yang berperan penting dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap bagian dalam pementasan wayang mempunyai simbol dan makna filosofis yang kuat. Apalagi dari segi isi, cerita pewayangan selalu mengajarkan budi pekerti yang luhur, saling mencintai dan menghormati, sambil terkadang diselipkan kritik sosial dan peran lucu lewat adegan goro-goro. Tidak salah jika UNESCO mengakuinya sebagai warisan kekayaan budaya Indonesia yang bernilai adiluhung. 

Wayang Sebagai Sarana Dakwah

Dalam konteks memosisikan seni pertunjukan wayang pada kedudukan semula, yaitu seni pertunjukan bersifat spiritual dengan sejumlah upacara ritual yang khas, para penyebar Islam yang tergabung dalam Wali Songo melakukan pengambilalihan seni pertunjukan ini dengan sejumlah penyesuaian yang selaras dengan ajaran Tauhid dalam Islam. 

Mengutip Agus Sunyoto (2016) bahwa menurut R.Poejosoebroto dalam Wayang Lambang Ajaran Islam (1978) menjelaskan Sultan Demak yang pertama setelah mempertimbangkan masak-masak dengan beberapa orang dari para wali tentang keberadaan seni pertunjukan wayang, memperoleh pandangan :

Pertama, seni wayang perlu diteruskan dengan perubahan-perubahan yang sesuai dengan zaman.
Kedua, kesenian wayang dapat dijadikan alat dakwah Islam yang baik.
Ketiga, bentuk wayang yang mirip arca-arca seperti manusia, harus dideformasi karena diharamkan menurut Islam.
Keempat, cerita-cerita dewa harus diubah dan diisi paham yang mengandung jiwa Islam untuk membuang kemusyrikan.
Kelima, cerita wayang harus diisi dakwah agama yang mengandung keimanan, ibadah, akhlak, kesusilaan, dan sopan santun.
Keenam, cerita wayang karangan Walmiki dan Wiyasa harus diubah menjadi berjiwa Islam.
Ketujuh, menerima tokoh-tokoh wayang dan kejadian-kejadian hanya sebagai lambang yang perlu diberi tafsiran tertentu yang sesuai dengan ajaran Islam. 
Kedelapan, pergelaran wayang harus disertai tata cara dan sopan santun yang baik, jauh dari perbuatan maksiat.
Kesembilan, memberi makna yang sesuai dengan dakwah Islam seluruh unsur seni wayang, termasuk alat-alat gamelan dan nama-nama tembang macapatnya, sehingga pemberian makna dapat berturut-turut secara sistematis menurut ajaran agama yang benar. 

Dengan sembilan ketetapan yang ditetapkan oleh Sultan Demak bersama Wali Songo dilakukanlah perubahan-perubahan bersifat deformatif dalam rangka penyesuaian seni pertunjukan wayang dengan ajaran Islam. 

Masih menurut Agus Sunyoto, wayang-wayang digambar pipih dua dimensi dengan gaya dekoratif menjauhi kesan bentuk manusia sebagaimana pada reliaf-relief candi. Bahan wayang tidak lagi digambar di atas kain, melainkan digambar di atas selembar kulit kerbau dengan warna putih dan hitam. Wayang tidak berwujud utuh, tapi berupa satuan-satuan gambar lepas dengan tangan menyatu dengan tubuh. Pada dasawarsa kedua abad 16, atas kreatifitas salah seorang tokoh Wali Songo, Sunan Kalijogo, wayang disempurnakan dengan tangan bisa digerakkan dan warna-warna yang digunakan makin beraneka macam. 

Usaha-usaha mengembangkan wayang sebagai seni pertunjukan untuk sarana dakwah tidak sekedar mengembangkan bentuk-bentuk wayang serta kelengkapan sarana pertunjukannya, namun yang tak kalah pentingnya adalah usaha penyusunan pakem cerita pewayangan yang tidak bertentangan dengan Tauhid. 

Semisal, cerita poliandri Drupadi sebagai istri kelima bersaudara Pandawa, diubah menjadi cerita dengan menggambarkan tokoh Drupadi sebagai isteri Yudhistira, putera tertua Pandu. Dewa-dewa yang merupakan tokoh sesembahan yang hidup di kahyangan, dibikinkan susunan silsilah sebagai keturunan Nabi Adam dari jalur Nabi Syits. 

Para tokoh punakawan dibuat sedemikian rupa mendekati kondisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam. Prof. K. M. A. Machfoel pernah menguraikan pendapatnya tentang makna punakawan, yakni Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong. Keempat figur nama-nama tersebut tidak terdapat dalam epos Ramayana dan Mahabarata sebagai sumber cerita dalam pewayangan. Menurutnya, nama punakawan tersebut berasal dari bahasa Arab. Semar dari Ismar, Nala Gareng dari Nalaa Qariin, Petruk dari Fatruk, Bagong dari Baghaa.

Ismar adalah paku, yang berfungsi sebagai pengokoh yang goyah. Tokoh ini dijadikan sebagai “paku pengokoh” terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap permasalahan. Nalaa Qariin berarti memperoleh banyak teman, dan tugas konsepsional para Wali Songo sebagai juru dakwah ialah untuk memperoleh teman sebanyak-banyaknya untuk kembali ke jalan Allah. Fatruk yang berarti tinggalkan semua apapun yang menyimpang dari Islam sebagai agama Islam. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak pribadi para wali dan mubaligh pada waktu itu. Baghaa yang artinya berontak, dalam konteks ini yang dimaksud adalah berontak terhadap kejahatan atau kemungkaran. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Bagong berasal dari baqa’ yang berarti kekal atau langgeng. Di dalam agama Islam, baqa’ mengandung arti semua manusia hanya akan hidup kekal di akhirat. (Nugroho, 2005).

Azimat kerajaan Amarta yang kekuatan adidunianya mengalahkan kekuatan dewa-dewa, yang dikenal dengan Jimat Kalimosodo sebagai kiasan Kalimat Syahadat dalam Islam. Selain itu, lakon Petruk Dadi Ratu yang menggambarkan manusia yang memiliki dan mengamalkan Jimat Kalimasada akan mendapatkan kemuliaan. 

Kemudian mempersonifikasikan atau memanusiakan tokoh-tokoh “Pandawa Lima” seperti Puntadewa untuk syahadat, Bima untuk Shalat, Arjuna atau Janoko untuk zakat, Nakula-Sadewa untuk puasa Ramadhan dan Haji. Bahkan kisah-kisah pewayangan dijadikan media terutama untuk mengajarkan ilmu Tasawuf mengenai Thariqat atau “laku utama”, tentang Hakikat atau “Sejatining Laku”, Syariat atau “lakuning urip”, Ibadah atau “lakuning menembah”, dan lain-lain. (RM Ismunandar, 1994). 

Tokoh-tokoh Wali Songo yang dianggap berjasa dalam "mengislamisasi" wayang adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijogo, dan Sunan Kudus. 

Wayang Sebagai Karya Seni Budaya Adiluhung Dunia 

Sebagai sebuah karya budaya bangsa, wayang kini tercatat sebagai karya seni budaya adiluhung dunia (Master Piece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO, pada tanggal 7 November 2003. Kita bangsa Indonesia pantas untuk berbangga. 

Perlu diketahui, mengutip Burhan Nurgiyantoro dalam artikelnya Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa, pada tahun 1972 UNESCO menggariskan sebuah konvensi yang berkaitan dengan warisan budaya yang kasatmata, situs, dan pemandangan alam, maka berkembanglah kesadaran bahwa warisan budaya yang bersifat lisan dan tak benda juga penting untuk dilestarikan. Hal itu didasari pemikiran bahwa warisan budaya tersebut yang terbukti sarat nilai dikhawatirkan punah terdesak oleh arus globalisasi atau perusakan lingkungan. Maka UNESCO memusatkan perhatian pada perlindungan budaya tradisional termasuk di dalamnya budaya wayang di Indonesia. 

Dan pada tahun 1997 UNESCO menyusun peraturan mengenai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Karya-karya Agung Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia). Tujuan peraturan itu adalah untuk (i) meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap warisan budaya tak benda, (ii) mengevaluasi dan mendaftar situs dan warisan budaya tak benda, (iii) membangkitkan semangat pemerintah negara agar mengambil tindakan-tindakan hukum dan administrasi untuk melestarikan warisan budaya tak benda, dan (iv) mengikutsertakan seniman setempat dalam dokumentasi pelestarian dan pengembangan warisan budaya tak benda (Wibisono, 2009).

Atas peraturan tersebut, maka setiap negara yang memiliki karya-karya tradisional sebagaimana dimaksudkan di atas boleh mengajukan diri untuk diumumkan sebagai karya agung dunia. Dan hanya yang memenuhi persyaratan yang dapat dinyatakan sebagai karya sebagai karya agung dunia. 

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi tersebut antara lain (i) Nilai luar biasa sebagai karya agung ciptaan manusia. (ii) Berakar pada tradisi budaya atau sejarah budaya masyarakat yang bersangkutan. (iii) Berperan sebagai sarana pernyataan jatidiri bangsa atau suku bangsa yang bersangkutan yang berfungsi sebagai sumber inspirasi pertukaran budaya, sebagai sarana membuat rakyat semakin dekat satu dengan yang lain, dan peran sosialnya masa kini dalam masyarakat yang bersangkutan. (iv) Kegunaan dalam penerapan keterampilan dan sifat teknik yang diperlihatkan. (v) Perannya sebagai tradisi budaya yang hidup. (vi) Risiko budaya yang bersangkutan bisa punah karena kekurangan sarana untuk melestarikan dan melindunginya. 

Catatan Akhir

Produk budaya adalah sesuatu yang sangat penting di dalam percaturan politik global. Produk budaya bisa digunakan untuk menyampaikan identitas sebagai sebuah negara. Dengan cara ini negara tersebut akan diakui, juga dihargai sebagai negara yang bermartabat. Itu sebabnya negara yang mengekor negara lain adalah negara yang tidak punya harga diri, karena tidak memiliki prinsip. 

Wayang yang semula milik salah satu etnis di Nusantara, yaitu Jawa, kemudian meluas menjadi milik sejumlah daerah (semisal Bali dan Sunda), kemudian menjadi milik bangsa secara nasional, dan akhirnya diakui dunia sebagai sebuah karya agung. 

Diakuinya Wayang sebagai karya agung budaya dunia, membuktikan bangsa ini memiliki nilai, memiliki martabat, bangsa ini bangsa terhormat. Dan yang lebih penting lagi, diakuinya wayang sebagai karya agung budaya dunia, dikarenakan mempunyai nilai tinggi bagi peradaban umat manusia. 

Sebagai sebuah bangsa, kita mestinya bangga. Tidak justru berpolemik dan berusaha membenturkan budaya adiluhung bangsa ini kedalam kepentingan politik praktis yang sempit dan jauh dari bijaksana.  

Adalah menjadi tugas seluruh bangsa Indonesia untuk melestarikan eksistensi wayang.

3 komentar:

  1. Wayang.

    Suatu pagelaran seni yg sarat dengan pesan moral.

    Tulisan inspratif.
    Tfs

    BalasHapus
  2. Wayang.

    Suatu pagelaran seni yg sarat dengan pesan moral.

    Tulisan inspratif.
    Tfs

    BalasHapus