Indek Daya Saing dan Anggaran Riset


AWAL tahun 2017 Indonesia disuguhi dengan beberapa isu politik, sosial, ekonomi maupun pendidikan. Pada aspek politik mencuat tentang isu jual beli jabatan, bukan hal baru namun kembali populer setelah adanya operasi tangkap tangan KPK atas Bupati Klaten. Pada aspek pangan persoalan klasik tentang harga dan stok pangan yang seolah asyik dengan ”dirinya sendiri” naik turun silih berganti tak terkendali, dan yang terbaru adalah pedasnya harga cabai yang mencapai di atas Rp 100 ribu/kg. Pada pendidikan dihadapkan dengan isu pemangkasan anggaran untuk riset/ research and development/ R&D. Berbagai isu tersebut tentu dapat mempengaruhi prestasi kemajuan negara.

Salah satu cara mengetahui kemajuan negara dapat dilakukan dengan pengukuran indek daya saing global global competitiveness index (GCI). Penilaian peringkat daya saing global ini didasarkan pada 113 indikator yang dikelompokkan dalam 12 pilar daya saing. Keduabelas pilar tersebut yaitu institusi, infrastruktur, kondisi dan situasi ekonomi makro. Kemudian kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tingkat atas dan pelatihan, efisiensi pasar, efisiensi tenaga kerja. Selanjutnya, pengembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, ukuran pasar, lingkungan bisnis, dan inovasi (Kemenkeu, 2015).

Potensi

Indonesia memiliki potensi menjadi negara besar, tidak hanya karena wilayahnya yang luas dan penduduknya yang banyak, namun juga karena sumber daya alam (mineral dan biodiversity flora fauna) yang luar biasa. Persoalan kompleks termasuk manajemen, sumber daya manusia (SDM) dan teknologi berperan penting di dalamnya. Sebagai negara yang masih dalam kategori berkembang berarti masih dalam pencarian format menuju kemapanan (negara maju), perlu penguatan kepekaan terhadap potensi-potensi yang dapat menguatkan dan meruntuhkan citacita, kemudian perlu mulai dari mana juga dapat disimulasikan.

Dalam hal ini peran research and development (R&D) sangat diperlukan. Perkembangan teknologi sangat erat kaitannya dengan perkembangan ilmu, dan jalur produksi teknologi melalui R&D. Karena bisa dikatakan, teknologi yang berkembang di Indonesia mayoritas masih impor (58% dari Jepang, Jerman Tiongkok), sehingga kita hanya user atau minimal assembling. Untuk menjadi negara kokoh dan kuat perlu memiliki fondasi teknologi yang kuat.

Boleh jadi pengembangan teknologi berbasis potensi yang genuine dari Indonesia adalah jawaban untuk kejayaan bangsa, yaitu teknologi ‘manufakturĂ­ menuju industrialisasi yang berbasis pada pengolahan produk agro dan biodiversitas flora fauna Indonesia, dan bukan teknologi ‘manufakturĂ­ impor. Hal tersebut tentu perlu ditelusuri dengan R&D dan ditopang oleh politik kebijakan yang mendukung terhadap produk R&D.

Anggaran R&D

Pada negara maju atau negara berkembang yang progresif, rata-rata mengalokasikan anggaran cukup besar untuk R&D. Korea Selatan menganggarkan dana untuk R&D sebesar 5% dari PDB, Israel 4% PDB, Jepang 3,5% PDB, Amerika Serikat mendekati 3% PDB, Singapura 2,36 % PDB, Tiongkok di atas 2% PDB, Malaysia mendekati 2%, dan Vietnam 0,1% PDB. Indonesia hanya mengalokasikan anggaran 0,09% dari PDB. Hal itu sangat mempengaruhi GCI Indonesia.

Peringkat GCI Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini trennya turun dari peringkat 34 (2014) menjadi 37 (2015) dan 41 (2016) dari 140-an negara. Pada level ASEAN, Indonesia masih di bawah Thailand yang berada di peringkat 32, Malaysia di peringkat 18 dan Singapura di peringkat 2. Jumlah peneliti Indonesia hanya 90 per satu juta penduduk juga tergolong lebih rendah dibanding Brasil 700,†Tiongkok 1.020 peneliti, Rusia†3.000, dan Korea Selatan 5.900 peneliti per 1 juta penduduk.

Sayangnya entah karena pertimbangan apa, justru alokasi anggaran nasional untuk riset cenderung turun, termasuk tahun 2017 ini. Dalam logika penulis, jika dipandang ada hal yang belum optimal dengan peran R&D dapat dilakukan evaluasi. Pengurangan anggaran R&D bukanlah jawaban terhadap semakin ketatnya persaingan dalam era perdagangan bebas dan masyarakat ekonomi ASEAN. Semoga pemangkasan anggaran R&D bukan karena sikap ke-pekok-an (tutup mata tutup telinga) terhadap upaya mendapatkan solusi menuju perkembangan dan tantangan bangsa melalui R &D.

Bambang Suwignyo PhD, 
Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Kerjasama, Fakultas Peternakan UGM, Ketua Divisi Pertanian Terpadu MPM PP Muhammadiyah.  

Artikel ini dimuat Kedaulatan Rakyat, Jumat 13 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar