Membangun Masyarakat Madani



SEMUA masyarakat atau komunitas manusia, pada hakekatnya mencita-citakan sebuah kehidupan kemasyarakatan yang kuat dan berada pada posisi ideal. Kehidupan kemasyarakatan yang kuat dan ideal, secara umum tercermin pada kesejahteraan hidup para anggotanya. Sedangkan cerminan otentik kehidupan masyarakat yang sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat terlihat pada dua aspek kehidupan yang paling fundamental, yakni aspek material dan aspek spiritual.

Indikator utama sebuah masyarakat yang sejahtera secara fisik material termanifestasikan seutuhnya dalam kemakmuran yang merata. Sedangkan wujud kesejahteraan dari sisi moral spiritual adalah hadirnya rasa aman bagi seluruh warga dalam masyarakat tersebut, dan puncaknya mengejawantah pada kehidupan yang adil makmur, aman sentosa, dan seimbang. Suatu kehidupan sejahtera yang diridloi oleh Allah, baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. (Abdi Sumaithi, 2002).

Dalam perspektif al quran, sebuah masyarakat yang aman dan makmur sangat tergantung pada sejauh mana warganya mampu menegakkan nilai-nilai Ilahiyah dan mengaktualisasikannya secara konsisten ke dalam tataran kehidupan individu dan sosial mereka. Sedang aktualisasi dan konsistensi terhadap nilai-nilai Ilahiyah ini hanya mungkin ditegakkan oleh suatu masyarakat yang memiliki perspektif dan sikap yang benar dan positif terhadap realitas, baik realitas dunia, akhirat, agama dan kehidupan inhern dengan ujian yang terkandung di dalamnya dan kematian yang menjadi pintu gerbang menuju kehidupan yang kekal dan abadi. 

Konsistensi tersebut mengandung makna kepatuhan kepada kehendak Allah secara totalitas, sebab tercapainya nilai dan tujuan Islam dalam masyarakat bergantung pada sejauh mana individu dan masyarakat itu mematuhi kehendak Allah sesuai dengan sifat, kesanggupan dan realitas material dalam lingkungan mereka. Hal ini menuntut optimalisasi keseriusan manusia dalam menghadapi dan memanfaatkan ruang dan waktu. Sebab kesengsaraan dan kebahagiaan manusia terletak pada pemenuhan kehendak Ilahi yang berkaitan dengan ruang dan waktu tersebut.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, menuntut semua warga untuk mengambil peran dalam usaha bersama membangun manusia berperadaban, civil society, masyarakat berdaya yang tidak mudah dipatronisasi oleh kekuatan manapun. Masyarakat yang seperti ini belakangan di kenal dengan nama masyarakat madani.

Abdi Sumaithi (2002) menjelaskan bahwa masyarakat madani dengan semua komponen di dalamnya memiliki sejumlah peran yang sangat strategis dalam pentas sosial-politik. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat madani harus dijabarkan dalam konsep politik kewarganegaraan yang jelas. Hal ini karena paradigma baru bagi pemberdayaan masyarakat madani, mengharuskan adanya topangan teoritik yang komprehensif guna mengantisipasi proses perubahan politik yang cenderung selalu memiliki implikasi yang sangat luas.

Pilar-pilar Masyarakat Madani

Masyarakat madani (civil society) terkonstruksi dari masyarakat yang berdaya secara ideologi, sosial dan politik. Hal ini membawa konsekuensi, untuk membangun sebuah masyarakat madani perlu memperhatikan pilar-pilar yang menjadi penopangnya.

Pertama, penguatan aspek ideologis. Didalam sebuah masyarakat yang beragam (plural), aspek ideologi menjadi unsur pertama dan utama yang harus dilakukan penguatan dalam membangun sebuah masyarakat madani. Hal ini dikarenakan, suatu bangsa yang ingin menjadi kontributor dalam pembangunan peradaban, terlebih dahulu harus memperkuat aspek ideologi yang menjadi landasan pembangunan sosial, politik dan budaya. Yang muaranya memastikan masyarakatnya sebagai masyarakat ideologis.

Kekuatan aspek ideologis dalam masyarakat madani, sejatinya dapat dilihat pada perilaku lahiriah masyarakatnya. Bagi kaum muslimin, ia adalah gambaran otentik nilai-nilai yang telah disepakati bersama yaitu nilai-nilai Ilahiyah yang menjadi landasan hidup mereka. Perilaku masyarakat baik dalam kapasitas individu maupun secara kolektif yang berlandaskan nilai-nilai ke-Ilahi-an mencerminkan masyarakat yang memiliki semangat rabbaniyah (QS.3:79) atau ribbiyah (QS.3:146), yang secara jelas terpancar dalam seluruh sisi kehidupan kemanusiannya. 

Berikutnya sebuah kelanjutan logis dari penguatan ideologi masyarakat adalah penguatan moralitas bangsa. Dan cermin kekuatan moral suatu bangsa tampak pada keselarasan antara tata nilai dengan sikap dan perilaku individu dan sosial, bahkan hal ini menjadi ukuran ke-ideal-an kehidupan sebuah masyarakat. Di waktu yang sama keselarasan ini juga menjadi bukti bahwa tata nilai yang menjadi keyakinan bersama telah mengideologi dikalangan masyarakat.

Urutan berikutnya, nilai-nilai yang telah mengideologi dalam sebuah masyarakat akan membentuk integritas dan kekuatan moral bangsa tersebut, selanjutnya ia akan menjelma menjadi masyarakat yang berpendirian dan berkepribadian. Dalam perspektif Islam, perilaku lahiriah yang menjadi cerminan kekuatan moralitas masyarakat adalah perilaku yang sarat dengan akhlaqul karimah. Inilah sejatinya masyarakat yang berperadaban, civil society, masyarakat madani dalam arti yang sesungguhnya.

Kedua, penguatan aspek budaya. Penguatan budaya masyarakat yang berakar pada nilai-nilai Ilahiyah dan ditopang dengan kecemerlangan intelektual masyarakatnya menjadi unsur pokok dalam pembangunan masyarakat madani. Dan membaca adalah gerbang terbukanya wawasan dan cakrawala budaya sebuah masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks pembangunan masyarakat madani menuntut adanya agenda yang jelas guna memastikan masyarakat sebagai masyarakat baca.

Budaya sebagai salah satu unsur pembentuk utama masyarakat madani, harus mampu melahirkan entitas yang meletakkan asas ilmu sebagai sandaran pembinaan budaya masyarakat. Dengan ini diharapkan, kewujudan dan kemampuan golongan intelektual dapat menjadi pemimpin peradaban masyarakat. Yang muaranya mampu mengarahkan partisipasi masyarakat madani yang kuat secara ideologi, memiliki integritas moral yang membanggakan dan secara intelektual dan budaya tercerahkan. Dengan begitu masyarakat akan memiliki kapasitas internal (imunitas) dalam menghadapi serbuan budaya yang demikian gencar, atau meminjam istilah Uba Ingan Sigalingging.SSn – memiliki kedewasaan dalam menghadapi persilangan budaya.

Ketiga, penguatan aspek sosial – politik. Dalam sebuah masyarakat, kekuatan sosial – politik ini dapat dilihat pada sejauh mana rasa solidaritas dan kesatuan tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam dokumen Piagam Madinah, telah ditemukan satu diktum yang menunjukkan bahwa masyarakat pada saat itu telah diperkenalkan makna kesatuan dan solidaritas dalam konteks pembangunan sebuah bangsa. Dan untuk pertama kalinya pula, dunia diperkenalkan pada wawasan kebebasan. Terutama kebebasan pada bidang agama dan politik, yang ini berimplikasi kuat pada tata hubungan kemanusiaan. Dalam konteks ini, masyarakat madani antara lain bercirikan egaliter, demokratis dan penghargaan kepada manusia berdasarkan pada keutamaan dan prestasinya, bukan pada etnisitas atau keturunan dan sejenisnya.

Agenda ini, harus dilakukan melalui serangkaian program pemberdayaan sosial-politik dikalangan rakyat banyak. Semisal, menanamkan kesadaran akan hak-hak politiknya, secara kontinyu melakukan perbaikan sistem politik dan mengupayakan tuntutan terhadap penguasa berkenaan dengan hak-hak politiknya.

Keempat, penguatan aspek hukum. Penguatan pada aspek ini menjadi faktor terpenting dalam upaya membangun masyarakat madani. Berpangkal dari nilai-nilai ideologis dan integritas moral yang berakar pada nilai-nilai ke-Ilahi-an yang memancar pada perilaku individu, sosial-politik, dan budaya, masyarakat madani akan mampu mengembangkan karya produktif yang bermanfaat bagi manusia (QS.41:33). Oleh karenanya masyarakat madani harus terkonstruksi dan tegak berdiri diatas landasan dan prinsip keadilan. Bentuk nyata dari nilai keadilan ini adalah masyarakat madani harus berpedang teguh pada hukum sebagai salah satu unsur pokok tegaknya masyarakat madani. Dan menegakkan hukum secara adil merupakan amanat Allah yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS.4:58).

Dengan mengefektifkan pemberdayaan aspek ideologi, budaya, sosial-politik dan hukum sebagai pilar utamanya, diharapkan akan lahir masyarakat madani yang berdaya; masyarakat yang keberadaan dan perannya dapat dirasakan dalam kehidupan sosial-politik.

Masyarakat Madinah adalah Masyarakat Madani

Di tengah hingar-bingar politik kekinian dan jalan buntu dari problema sosial yang sedang dialami, amat wajar bila banyak kalangan melakukan permenungan, refleksi dan retrospeksi terhadap model pembangunan sebuah masyarakat.

Masyarakat Madani yang oleh Barat sering disebut civil society, sejatinya istilah yang berasal dari kata “madinah” yang biasa diartikan dengan “kota”, yang secara ilmu kebahasaan mengandung makna “peradaban”. Dalam kaidah bahasa Arab, peradaban (al hadharah) sering pula dinyatakan dengan “madaniyah” atau “tamaddun”. Maka tatkala Nabi Muhammad merubah nama Yastrib menjadi Madinah, sebuah langkah yang bukan tanpa sebab, atau setidak-tidaknya memiliki maksud dan tekad untuk hendak membangun sebuah masyarakat yang kuat dan beradab, masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis; masyarakat madani.

Negara-Kota (city state) Madinah yang pernah terwujud dalam masa awal generasi Islam. Oleh Munir Muhammad al Ghadban dalam “Al Manhaj al Haraki lis Sirah an Nabawiyah” (1992), dijelaskan bahwa penduduk Madinah waktu itu bersifat plural dan heterogen, serta dinamis dan rasional. Dalam format sosial-politik yang bersahaja, Rasulullah mengembangkan birokrasi yang ramping dan efektif. Ia mendengar langsung keluhan masyarakat, menjawab pertanyaan dan mencari solusi bagi persoalan yang diajukan, serta bermusyawarah untuk menentukan keputusan bersama. Tetapi, kala menghadapi tugas kolektif yang beresiko tinggi, Rasulullah selalu berada di garis terdepan.

Dengan gaya kepemimpinan yang merakyat seperti itu, Rasulullah berhasil membentuk masyarakat yang bersatu dan memegang teguh komitmen bersama. Masyarakat Madinah sekurang-kurangnya terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Muhajirin sendiri terdiri dari sejumlah komunitas yang berlatar belakang berbeda dari segi ras (Arab, Persia, Habsyah, dan lain-lain), suku, dan status sosial-ekonomi. Mantan budak dan majikan bisa bersatu di bawah panji keislaman. Demikian pula kaum Anshar terdiri dari mayoritas suku Aus dan Khajraj yang dahulunya terlibat dalam permusuhan tradisional, lalu dipersaudarakan sebagai komunitas Muslim. Pluralitas masyarakat Madinah menjadi lengkap, saat Rasulullah menawarkan kesepakatan Piagam Madinah (watsiqat al Madinah) kepada para pemuka agama Nashrani dan Yahudi. Tradisi perang kesukuan diganti dengan hubungan sosial yang bersahabat dan saling melindungi dari ancaman luar. Eksploitasi ekonomi berubah menjadi transaksi yang saling menguntungkan.

Efisiensi dan efektivitas birokrasi ala Rasulullah tersebut tak berlebihan kiranya bila dikatakan relatif mirip dengan model pemerintahan (demokrasi) langsung yang diterapkan di wilayah Skandinavia, seperti di Swedia dan Finlandia. Pemerintah benar-benar berfungsi sebagai pelayan masyarakat, dan bukan posisi politik yang diperebutkan antar kelompok untuk mendominasi fasilitas publik yang mewah. Jika masyarakat sudah mampu mengurus kepentingannya sendiri, maka peran pemerintah menjadi lebih minimal. Pesan Kenabian yang menyebutkan “Sayyid alqaum khadimuhum”, yakni “Pemimpin umat adalah pelayan mereka”, bukan lagi sekadar slogan. (Hidayat Nur Wahid, 2003).

Itulah sekelumit gambaran Negara-Kota Madinah, yang acapkali dijadikan prototipe tatanan sosial-keagamaan dan kenegaraan yang sangat modern untuk zamannya, yang mampu menghadirkan nilai-nilai kesetaraan (egality), persamaan hak (equality), dan saling pengertian (mutual understanding) antarsesama warga Madinah tanpa melihat perbedaan latar belakang agama maupun etnis (Faturrahman Yahya, 2003). Dengan kata lain, mereka telah menjadi warga agama dan warga-politik sekaligus dengan hak serta kewajiban yang sama. Penduduk imigran (kaum Muhajirin Quraisy) dan penduduk asli (kaum Anshor Yastrib) bagai saudara, saling menghormati antara satu dengan lainnya. Seorang Muslim bebas melaksanakan agamanya dan pemeluk Yahudi dan Nashrani juga bebas melaksanakan agamanya.

Catatan Akhir

Dari paparan diatas, sudah sangat jelas model tatanan masyarakat seperti apa yang mesti dibentuk dan dibangun di Indonesia. Pertanyaannya, apakah bangsa ini mampu membangun sebuah masyarakat ideal sebagaimana Rasul dan para sahabat telah bangun di Madinah? 

Sebuah pertanyaan yang bisa jadi akan terlihat naif, namun justru dari sanalah semuanya berpijak. 

Sebagai sebuah bangsa besar, terlebih mayoritas Islam, tidak ada pilihan kecuali ungkapan optimisme dari bangsa ini guna mewujudkan tatanan masyarakat madani tersebut di bumi Nusantara. Dan ini menjadi tanggung jawab kita bersama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar