Hentikan Survei Manipulatif



Menjelang pemilihan umum (pemilu) atau pilkada, masyarakat disuguhi berbagai hasil jajak pendapat atau survei mengenai tingkat popularitas dan elektabilitas partai politik (parpol) maupun kandidat calon presiden (capres). Masyarakat sebaiknya waspada dan bijak mencermati publikasi survei-survei tersebut. Sebab, tidak sedikit lembaga survei yang dijadikan legitimasi dukungan bagi parpol atau kandidat tertentu. Mereka melakukan survei berdasarkan pesanan, sehingga hasil akhirnya pun cenderung memenuhi kehendak sang pemesan, bukan memotret realita riil di masyarakat.

Tak berlebihan bila terlontar pendapat bahwa saat ini sedang berlangsung perang survei abal-abal. Hal itu merujuk pada sejumlah publikasi hasil survei yang diindikasi merupakan pesanan, sehingga hasil akhirnya tak mencerminkan sebuah proses akademik.

Di rezim pemilu langsung saat ini, baik pemilu legislatif, pemilu kepala daerah, hingga pemilu presiden, survei politik telah menjelma menjadi satu bidang profesi baru yang menjanjikan keuntungan materi. Sebab, para kandidat ingin tahu di mana posisi mereka dalam peta persaingan. Hal tersebut bisa diketahui melalui survei, yang sejatinya merupakan kerja ilmiah dalam memotret fakta.

Namun, dalam perkembangannya, metodologi survei ternyata bisa dimanipulasi sedemikian rupa, agar hasil akhirnya bisa sesuai dengan keinginan sang pemesan. Survei telah dibajak oleh oknum intelektual yang bekerja di lembaga-lembaga survei, demi keuntungan materi. Mereka rela menggadaikan independensi akademis, demi memenuhi syahwat politik kalangan parpol dan politisi tertentu. Inilah salah satu dampak negatif dari rezim pemilu langsung. Parpol dan politisi rela menghalalkan segala cara, termasuk menodai kerja ilmiah survei, demi kemenangan politik.

Ironisnya, oknum intelektual yang bekerja di lembaga survei, rela dijadikan kendaraan politik dan alat legitimasi parpol atau politisi tertentu. Hasil survei yang manipulatif tersebut dijadikan alat propaganda dan kampanye, demi tujuan pemenangan pemilu. Publik atau pemilik suara digiring pada sebuah rekayasa ilmiah. Hasil survei diklaim sebagai sebuah kerja ilmiah berdasarkan fakta riil di lapangan. Padahal, sejak awal hasilnya telah dirumuskan, dan metodologinya dirancang sedemikian rupa, agar mengarah pada hasil yang sebelumnya telah ditentukan.

Lembaga survei semacam itu tidak merekam fakta riil di lapangan, tetapi merekayasa fakta secara sistematis agar hasilnya sesuai pesanan. Di sini telah terjadi proses pembohongan, penyesatan, dan pembodohan publik oleh pengkhianat intelektual, yang rela menjadi alat politik.

Kenyataan seperti ini tentu menjadi bencana akademik. Betapa tidak. lembaga survei lain yang konsisten menjaga independensi, turut dicurigai dipesan pihak tertentu. Padahal, hasil survei mereka benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan jauh dari rekayasa. Namun, oleh parpol atau politisi yang merasa dirugikan, dengan mudah menuduh hasil survei itu sebagai pesanan. Masyarakat pun dengan mudah percaya tuduhan itu, karena melihat maraknya survei manipulatif di masa menjelang kampanye saat ini.

Akhirnya masyarakat yang dirugikan, sebab kehilangan hak dan kesempatan untuk melihat peta persaingan menjelang pemilu, berdasarkan fakta riil di lapangan. Kini sulit membedakan, mana survei yang benar-benar ilmiah dan independen, serta mana yang rekayasa dan manipulatif.

Untuk itulah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menaruh perhatian serius pada fenomena survei manipulatif. Harus ada aturan tegas mengenai lembaga survei, terutama menyangkut kode etik dalam memublikasikan hasil surveinya. Selain menginventarisasi lembaga survei yang ada, perlu ada aturan bahwa hanya survei yang dilakukan secara independen oleh lembaga survei, yang boleh dipublikasikan.

Lembaga survei tetap diizinkan melakukan penelitian berdasarkan pesanan parpol atau politisi tertentu, namun hasilnya tidak boleh dipublikasikan, hanya untuk kepentingan internal pemesan. Sebab, jika dipublikasikan, berpotensi menyesatkan publik.

Seiring dengan itu, para pengelola lembaga survei, yang notabene adalah kalangan intelektual, harus menjunjung tinggi kode etik dan konsisten dengan metodologi ilmiah dalam melakukan penelitian. Hasil survei harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hentikan upaya-upaya pembodohan dan penyesatan publik dalam survei politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar