Terorisme, Polisi dan Kebenaran Sejarah





Sebagai wadah berbagai ormas Islam, Forum Umat Islam (FUI) mendesak agar Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri dibubarkan. Lembaga ini dinilai melanggar HAM dan dibentuk untuk memerangi Islam dan jihad dengan dukungan biaya dari Amerika.

Nada minor terhadap Densus 88 juga berkembang dalam sejumlah milis, baik dari kalangan wartawan ataupun publik yang lain. Mereka menyebut, dalam pemberitaan seputar terorisme selalu terjadi keganjilan, yakni hampir semua berita terorisme bersumber dari polisi. Selain itu, tidak pernah ada klarifikasi dari lembaga yang disebut Jama'ah Islamiyah (JI). Polisi dinilai tidak mampu menjelaskan secara gamblang seperti apa bentuk keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dengan JI. Jika selama ini polisi hanya merujuk pada Nasir Abbas yang dikatakan sebagai mantan JI, ucapan dia dinilai tidak mewakili siapapun.

Di sisi lain, media juga tidak wawancara langsung orang-orang yang diduga teroris itu: Azhari, Ali Gufron, Imam Samudra, ABB ataupun lainnya. Bahkan para wartawan tidak dapat melakukan verifikasi, misalnya, mengakses laboratorium untuk menelusur lebih jauh bukti forensik polisi sehingga publik tidak 'dipaksa' menelan berita mentah-mentah. 

Mereka juga menilai, media barat pun sebenarnya hanya menerima frame, tanpa verifikasi, dari statement Departemen Luar Negeri Amerika, yang tertulis dalam website-nya, bahwa JI adalah organisasi yang ingin mendirikan kekhalifahan Islam se-Asia Tenggara lewat teror. Publik pun menyaksikan pemberitaan yang tak seimbang. Akibatnya, para wartawan dinilai membuat berita propaganda atau sekadar kepanjangan tangan polisi. 

Jika kita tengok ke belakang, dalam banyak penangkapan pascabom Bali 1, tak sedikit hal yang tak sepenuhnya bisa dipahami publik dengan gamblang. Sebagai contoh, benarkah terjadi baku tembak sewaktu penangkapan Azhari di Batu? Dalam tayangan televisi, pemirsa tidak pernah melihat Azhari dalam keadaan hidup, melainkan hanya kesibukan polisi sewaktu penggerebekan. Benarkah bom yang meledak di Bali merupakan bom pupuk yang dibeli Amrozi di Surabaya? Bagaimana mungkin kepala Asmar Latin Sani bisa ditemukan utuh di lantai atas Hotel Marriott, sementara peledakan terjadi di lantai dasar? 

Belakangan ini, yang juga dinilai janggal adalah ketika data-data terorisme justru datang dari negara lain, Australia. Terlebih, ketika ucapan selamat atas penangkapan para terorisme pertama kali disampaikan Amerika, Australia, dan Inggris. Hal ini memunculkan prasangka adanya motif terselubung oleh negara-negara tersebut. Bahkan terkait penembakan Abu Dujana, Kapolri mengatakan, "Kontroversi penembakan Abu Dujana tak perlu dikembangkan karena yang kita tangkap adalah teroris!" Hal ini juga mendapat sorotan publik bahwa polisi, khususnya Detasemen 88, tidak menginginkan transparansi dan akuntabilitas. Kata 'teroris' seakan bisa membenarkan apa saja yang mau dilakukan polisi. 

Kebenaran milik semua 

Llyod Pettiford dan David Harding dalam bukunya Terrorism, The New World War (2003), menuliskan kutipan Yasser Arafat, pemimpin Palestina. Arafat mengatakan, “Perbedaan antara kaum revolusioner dan teroris terletak pada alasan yang mereka perjuangkan. Siapapun yang memiliki alasan yang benar, dan berjuang bagi kebebasan dan kemerdekaan tanahnya dari penjajah, pemukim dan kolonialis, agaknya tidak dapat disebut teroris.

Persoalannya adalah setiap pihak merasa pasti bahwa dirinyalah yang benar. Kondisi itu tentu berbeda-beda, tergantung pada situasi, kondisi, dan keyakinan seseorang. Karena itu, yang 'benar' bisa siapa saja: bisa Islam, sosialisme, kapitalisme, antipemerintah, dan sebagainya. Nah, meski alasan itu menjadi pembenar, tentu tidak serta-merta hal itu juga boleh dijadikan argumen melakukan apa saja yang diinginkan. 

Itulah sebuah kerelatifan dalam kehidupan ini. Namun, tak jarang kondisi itu berubah menjadi rumit ketika para pemenang yang berkuasa mengarahkan kenyataan sesuai keinginannya. Kenyataan itu termasuk pula pengertian dan batasan tentang terorisme dan siapa yang seharusnya dimasukkan dalam daftar teroris. 

Secara sederhana Pettiford dan Harding mengumpamakan, jika yang menjadi pemenang dalam Perang Dingin adalah Uni Soviet, bukan Amerika Serikat, sejarah sudah tentu akan ditulis berbeda. Atau, jika kelompok Al qaidah menjadi pemenang dalam war against terrorism yang dilancarkan Amerika, tentu pengeboman terhadap gedung WTC tak akan disebut aksi terorisme. 

Contoh paling nyata adalah Nelson Mandela. Rezim apartheid Afrika Selatan pernah menyebutnya sebagai teroris, namun kini ia diakui sebagai bapak bangsa. Meski demikian, kedua penulis itu tidak memberikan contoh perlunya mengikuti definisi resmi Departemen Luar Negeri Amerika, yang seolah-olah menganggap bahwa terorisme hanya dilakukan oleh kelompok atau perseorangan. Terorisme juga bisa dilakukan secara sistematis oleh negara. 

Terkait persoalan terorisme di Indonesia, masing-masing pihak, yaitu pihak kepolisian dan Nasir Abbas di satu sisi dan pihak tertentu di sisi yang lain, saling mengedepankan argumen dan kebenaran masing-masing. Pada gilirannya publik tentu menjadi bimbang melihat hal ini. Siapa pihak yang paling benar terkait isu terorisme di Indonesia? Benarkan terorisme ada dan bukan rekayasa? Atau memang terorisme diciptakan? Dan sederet pertanyaan panjang yang lain. 

Untuk menjawab pertanyaan itu, tentu bukan perkara sederhana. Bahkan, sangat boleh jadi publik tak akan pernah mendapatkan jawabannya, melainkan ‘pembelaan’ masing-masing pihak. Agaknya kini saatnya kedua pihak itu membuka diri, duduk bersama, dan mengajukan pembuktian-pembuktian secara otentik, transparan, dan akuntabel. 

Jika perlu, adakan testimoni mereka yang pernah diduga sebagai ‘teroris’ yang kini sudah bebas dari hukuman, secara terbuka dan jujur tanpa ada rekayasa. Boleh jadi, publik sangat menantikan forum bersejarah ini dan berharap ada pihak ketiga yang benar-benar netral serta siap menjadi penengah yang profesional. 

Samsul Muarif
Wartawan, Tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar