Golput (golongan putih),
belakangan menjadi tema menarik buat diperbincangkan. Sebab disinyalir angkanya
pada Pemilu 2009 cenderung membesar. Sehingga ada kekhawatiran dapat “mengurangi”
kualitas pesta demokrasi tersebut. Terlebih sejak ajakan golput ini
dikampanyekan Gus Dur.
Kampanye Golput
Sebagai seorang tokoh nasional ajakan
ini tentu tidak bisa dipandang enteng, terlebih Gus Dur dikenal sebagai sosok
yang memiliki pengikut ”fanatik”. Menyadari hal tersebut, Ketua MPR Hidayat
Nurwahid merasa perlu melakukan upaya memperkecil dampak kampanye golput Gus
Dur dengan mengusulkan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlunya
mengeluarkan fatwa haram tentang golput ini. Ia berpendapat, bahwa fatwa
organisasi-organisasi keagamaan terkait dengan pelarangan golput akan cukup
efektif meningkatkan partisipasi masyarakat di Pemilu 2009. Jadi spiritnya
adalah bagaimana tingkat partisipasi pemilih meningkat dan ini juga menjadi
salah satu indikator sukses pemilu.
Di satu sisi, lanjutnya, umat
juga perlu didudukkan pada persoalan yang sesungguhnya karena ada juga salah
seorang tokoh nasional yang menganjurkan golput. Menurut Hidayat, kalau partisipasi masyarakat
dalam pemilu tinggi, hal itu juga menjadi indikator kedewasaan berdemokrasi
bangsa yang semakin meningkat. Karenanya fatwa yang menganjurkan agar
masyarakat memberikan suaranya di pemilu bagus bagi proses demokratisasi itu.
Sejalan dengan itu, data menyebutkan angka golput belum begitu parah karena
tingkat partisipasi pemilih masih di atas 60 persen, sehingga semua pihak tak
perlu khawatir adanya ancaman golput pada Pemilu 2009. Menurut Hadar N. Gumay
dari Cetro, hasil survei yang dilakukan bulan September lalu, 80 persen
responden pemilih menyatakan akan ikut milih Pemilu legislatif mendatang.
Jadi, masih kata Hadar, gerakan golput di Indonesia belum merupakan ancaman
serius pada Pemilu legislatif 2009.
Sisi Negatif Golput
Benar, golput adalah hak. Namun,
masyarakat sebagai pemilih mesti menyadari bahwa dengan tidak memberikan hak
pilihnya pada pemilu akan membawa implikasi sebagai berikut :
Pertama, bahwa pilihan untuk tidak memilih
(golput) dalam konteks pembiayaan adalah
merupakan bentuk pemborosan terhadap anggaran belanja negara/daerah. Sebab
untuk pelaksanaan pemilu ini dana yang dikeluarkan tidak sedikit.
Dari tahap pendataan pemilih, verifikasi,
pengadaan logistik dan pelaksaannya, pesta lima tahunan ini jelas memakan biaya
yang sangat besar. Belum lagi kalau pelaksanaan pilkada juga kita masukan.
Menurut data yang ada, dari 33 provinsi,
dan lebih dari 400 kab/kota maka di negeri ini rata-rata dilaksanakan pilkada 4
kali per minggunya. Dan kalau sekali pelaksanaannya memakan biaya 1 trilyun
saja maka lebih dari 400 trilyun dana terpakai untuk membiayaan pesta demokrasi
tersebut.
Kalau dengan dana yang sangat-sangat besar
ini kemudian ternyata banyak dari masyarakat tidak mempergunakan hak pilihnya
maja sangat sayang dana yang sedemikian besar tersebut. Ini mesti menjadi
pertimbangan mendasar sebelum anda memilih untuk tidak memilih.
Kedua, dari sisi calon. Golput juga akan
menguntungkan calon yang belum tentu berkualitas atau disukai. Artinya, calon
bisa menang hanya dengan perolehan suara rendah atau hanya mempunyai basis
massa sedikit karena lebih banyak masyarakat yang golput. Ini mengakibatkan
legitimasi kekuasaan calon terpilih akan berkurang.
Dalam pemilihan secara langsung seperti
saat ini, maka calon yang terpilih akan merasa bahwa ia pilihan rakyat dan
bebas melakukan apa yang dikehendakinya. Dan justru ini bumerang bagi
golput.
Terlebih pasca ditetapkannya calon terpilih
berdasar suara terbanyak, maka hak-hak rakyat sebagai pemilih lebih diakomodir.
Sebab dengan sistem tersebut mayarakat akan dengan bebas memilih siapa yang
berhak dan layak untuk menjadi wakilnya. Dibanding kalau mempergunakan sistem
nomor urut.
Ketiga, dari sisi pemilih. Benarkah para pemilih yang tidak
mempergunakan hak pilihnya (golputers) adalah pemilih yang kritis dan cerdas?. Para
golputers tersebut perlu menelaah dengan jujur beberapa pertanyaan berikut. Golput
karena merasa kepentingan pribadinya 'dirampas', kritiskah mereka? Golput
karena ’menganggap’ semua partai jelek, kritiskah mereka? Golput karena
ikut-ikutan 'biar' dianggap sebagai orang kritis, kritiskah mereka? Atau bahkan
karena 'sayakan tidak berdosa kalau nantinya negara makin hancur, karena saya
gak milih mereka alias golput!' Kritiskah mereka?
Ini
perlu jawaban yang jujur dari dalam sanubari. Sebab pada realitanya kebanyakan
dari mereka yang memilih untuk tidak memilih tersebut hanya 'menganggap' semua
partai jelek bahkan mungkin tak tahu sama sekali - karena memang tak mau tahu -
dengan partai yang ada.
Apakah
mesti begitu cara untuk memperbaiki kualitas partai yang ada? Hanya para
pemilih tersebut yang bisa menjawabnya.
Catatan Akhir
Upaya ’membendung’ gerakan golput mesti
terus dilakukan. Sinergi antara semua pihak (KPU, pemerintah, partai politik, pers,
dan civil society) menjadi sebuah keniscayaan.
Dan pola yang bisa dipakai paling tidak
ada dua pola yaitu : Pertama, melakukan gerakan kultural untuk mengembalikan
semangat memilih. Menggunakan hak pilih dalam pemilu untuk melawan budaya
golput. Dilakukan dengan melakukan kampanye besar-besaran dan melibatkan semua kelompok dalam masyarakat.
Kedua, pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih untuk tidak menjadi
golput. Sehingga muncul pemahaman kalau bisa memilih kenapa mesti golput?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar