Catatan Akhir Tahun : Pertahankan Kedaulatan RI


Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dan negara maritim yang eksistensinya diakui secara internasional dalam Konvensi Hukum Laut Internasional-KHLI (PBB) tahun 1982. Secara nasional, Indonesia telah meratifikasi KHLI/1982 tersebut dengan menciptakan UU No.17/1985.

Sebagai negara kepulauan (lebih dari 18 ribu pulau) NKRI kaya dengan selat-selat dan laut berada di tengah-tengah dan antara pulau-pulau serta laut wilayah (teritorial) di sekeliling pulau-pulauterluar sejauh 12 mil dihitung dari garis pasang surut pantai. Juga termasuk kawasan Zona Ekonomi Ekslusif sejauh 200 mil dari batas pantai di laut teritorial ke arah laut lepas.

Meskipun bernama Konvensi Hukum Laut, namun pasal-pasal KHLI/1982 itu juga mengatur tentang kawasan udara nasional yang merupakan penetapan dan pengaturan kedaulatan dan hak berdaulat NKRI di ruang udara. Hal ini juga mengacu kepada Konvensi Chicago 1944, yakni hukum internasional yang mengatur tentang kedaulatannegara kolong atas ruang udara di atasnya.

Dengan kondisi kewilayahan tersebut sesungguhnya Indonesia memiliki potensi kebahariannya dan paling luas dan sangat kaya akan sumber daya alam di permukaan bumi. Akan tetapi tampaknya potensi kelautan tersebut belum mampu dikelola secara optimal.

Sementara itu sejak awal 2003 muncul kesadaran-kesadaran di kalangan masyarakat akan pentingnya memelihara dan mempertahankan keutuhan dan kebersatuan wilayah nasional NKRI. Indonesia sudah selayaknya unggul dalam industri kebaharian dengan memanfaatkan teknologi maju. Namun perahu dan peralatan penangkap ikan bagi nelayan yang memadai masih impor, apalagi keperluan untuk pengelola wisata bahari hampir seluruhnya masih impor, mulai alat selam, kapal layar, jet ski, papan selancar, "speed boat" hingga alat pancing. Pemerintah seharusnya mendukung dan memberi peluang industri kebaharian di Tanah Air untuk maju dan bersaing dengan luar negeri. Paling tidak produksinya bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri dulu, dan setelah stabil baru ekspor.

Dengan mengembang-majukan industri maritim dalam negeri, berarti kita akan mampu mengoptimalkan pemanfaatkan kekayaan maritim kita. Hal ini berarti kita tidak tergantung pada teknologi asing dan produk asing. Tentu saja mengenai industri maritim tersebut harus tercakup industri galangan/pembuatan serta perbaikan kapal-kapal Sebagai negara kepulauan, sarana pengangkutan paling ideal dari Sabang hingga Merauke antar pulau-pulau tentulah dengan kapal.

Tak salah bila di era Orde Baru dengan gagasan dan karya Menristek BJ Habibie telah dikembangkan PT PAL di Tanjung Perak Surabaya -pabrik galangan kapal. Namun selain PT PAL tersebut, Menristek BJ Habibie juga mengembangkan industri kedirgantaraan.

Tentu saja pemerintah Amerika Serikat menentang adanya IPTN (Industri Pesawat Terbang Nasional) yang juga digalakkan oleh Habibie yang berasal dari pabrik pesawat terbang Nurtanio di Bandung. Majalah "Time" menyambut terpilihnya Wapres BJ Habibie Mei 1998 sebagai Presiden RI menggantikan Soeharto yang lengser melalui keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara sinis. Media Barat tersebut menyebut bahwa Habibie dengan IPTN itu bagaikan proyek "mercusuar" dan tidak berlandaskan ekonomi kerakyatan. Dan pada pemerintahan selanjutnya IPTN diubah menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI).

Padahal justru di samping laut, NKRI juga harus memperkuat industri kedirgantaraan -gatra udara sesuai dengan prinsip Wawasan Nusantara yang diakui sah dari segi Hukum Internasional(KHLI/1982). Selanjutnya sejak akhir 2002 kita dikalahkan oleh Malaysia dalam perebutan klaim atas dua pulau di pesisir Kalimantan Timur/Utara, Indonesia benar-benar harus mewaspadai wilayah dan pulau-pulau perbatasan.

Pemberitaan media pers ("Antara 15/1-2003) mengenai mantan Menko Polkam Wiranto mengingatkan pemerintah agar mewaspadai pulau-pulau terpencil yang ada di perbatasan sehingga tidak akan terulang kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.

Pulau-pulau yang ada di perbatasan harus diwaspadai serta perlu dilakukan tindakan nyata dan serius untuk mengurusnya. Demikian ucap Wiranto dalam diskusi tentang kasus Sipadan-Ligitan di kantor KAHMI, Jakarta. Salah satu pertimbangan Mahkamah Internasional (ICJ-International Court of Justice yang didominasi oleh adidaya Barat) memenangkan Malaysia dalam sengketa Sipadan-Ligitan, adalah negeri jiran itu telah melakukan pengelolaan konservasi alam di kedua pulau yang berada di dekat Pulau Kalimantan secara efektif.

Padahal justru Malaysia melanggar prinsip status quo karena masalah kedua pulau itu sedang dalam proses peradilan. Sebaliknya Indonesia yang patuh kepada aturan itu tidak melakukan aktivitas apa-apa di area tersebut malahan terus dikejar-kejar dan diusir oleh patroli AL Malaysia.

Tidak mengherankan bila muncul kecenderungan dan sikap serta kebijakan bahwa hanya pulau-pulau yang ada nilai ekonominya saja yang dikerjakan, sementara pulau lain yang dianggap kurang berpotensi terkesan ditelantarkan. Wiranto juga mengusulkan agar pemerintah memberi nama ribuan pulau-pulau milik Indonesia yang hingga kini belum memiliki nama sebagai identitas kepemilikan Indonesia atas pulau-pulau tersebut.

Sebenarnya mempertahankan wilayah kini tak cukup hanya dengan aktivitas militer, namun lebih efektif melalui pengelolaan wilayah itu serta kemampuan diplomasi. Akan tetapi tampaknya kita tidak siap bertempur di bidang diplomasi. Sebagai contoh kita kehilangan Sipadan-Ligitan dan Timor Timur sebagai akibat kekalahan berdiplomasi.
Saat ini setidaknya ada beberapa pulau di perbatasan yang rawan lepas, antara lain Pulau Pasir Putih yang berbatasan dengan Australia, Pulau Pantek yang berada di dekat Timor Leste, PulauMafia di utara Biak dan Pulau Rondo di dekat Aceh.

Masih banyak pulau di wilayah RI yang hingga kini belum memiliki nama, oleh karena itu guna memudahkan identifikasi terhadap pulau-pulau yang terdapat di wilayah kedaulatan RI itu perlu segera dilakukan upaya pemberian nama bagi pulau-pulau tersebut.

Pemikiran mengenai perlunya dilakukan penamaan terhadap pulau-pulau yang belum memiliki nama itu mengemuka pada diskusimasalah Perbatasan Negara RI yang diselenggarakan The Habibie Center, di Jakarta, 16 Januari 2003. Dalam diskusi tersebut antara lain menghadirkan pembicara pakardi Bidang Hukum Laut dan Maritim, Prof Dr Hasyim Djalal yang dipercaya oleh Menlu Prof. Dr.Muchtar Kusumaatmadja sebagai staf ahlinya untuk mewakili Indonesia di sidang PBB PBB untuk berunding dalam sidang PBB dan sukses menghasilkan KHLI/1982 saat itu.

Menanggapi masih banyaknya pulau-pulau yang belum memiliki nama tersebut, Hasyim Djalal berpendapat bahwa masalah tersebut penting untuk menjadi perhatian, diselesaikan dan diserahkan kepada provinsi, atau kabupaten yang wilayahnya berdekatan dengan pulau tersebut.

Dari sekitar 17 ribu pulau, yang sudah ada namanya sekitar 6.000 pulau saja, selebihnya masih belum. Sementara itu untuk keperluan pengamanan terhadap wilayah-wilayah perbatasan khususnya terhadap pulau-pulau yang berada di wilayah-wilayah perbatasan, diusulkan agar minimal dibangun menara suar (Mercusuar).

Dengan adanya menara suar serta beberapa personel yang mengoperasikan rambu-rambu suar di pulau-pulau yng berada di wilayah perbatasan itu maka akan memudahkan pihak lain mengidentifikasi bahwa wilayah tersebut adalah milik RI.

Masih dalam awal Januari 2003 ada seruan agar Indonesia harus lebih memperhatikan perbatasan darat dengan Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste, guna menghindari kemungkinan munculnya ancaman baru. "Meski Indonesia sudah menyelesaikan persoalan Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia, namun persoalan lainnya masih ada, seperti penebangan hutan ilegal, serta penyelundupan kayu, manusia, barang, dan senjata," kata Ketua Bidang Kajian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ikrar Nusa Bakti.

Dalam Seminar 'Konstelasi Geopolitik Asia-Pasifik: Tantangan dan Peluang bagi Indonesia', di Bandung (16 Januari 2003) Ikrar mengatakan, masalah perbatasan wilayah Indonesia dengan PNG (Papua Nugini) adalah kawasan itu sering digunakan untuk basis Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM memanfaatkan kawasan perbatasan untuk melakukan gerakan-gerakan militer yang sporadik, serta digunakan sebagai kawasan pemukiman oleh warga PNG.

Sedangkan perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste, persoalan yang masih ada yakni masalah pengungsi, milisi, serta penyelundupan. Pada waktu yang bersamaan awal tahun 2003 itu terjadwal pertemuanantara Indonesia dan Filipina yang membahas lebih mendalam penetapan garisbatas laut antara kedua negera, terutama yang menyangkut keberadaan Pulau Miangas yang berada di utara Sangir-Talaud, Provinsi Gorontalo.

Menurut Menlu Hasan Wirayudha, garis batas yang masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Filipina hanya tinggal 1.070 kilometer, antara lain yang menyangkut batas laut antara Pulau Miangas dengan Filipina (yang menyebutnya Pulau Las Palmas), di mana berdasar PP No 38/2002 terdapat dua titik dasar di pulau tersebut.

Mencermati perkembangan eksistensi negara kepulauan, Nusantara, maka pada penghujung tahun 2005 ini, dari Kupang Senin ("Antara": 19/12-2005) Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), DR Joyo Winoto,PHD menegaskan, pulau-pulau kecil dan pulau di kawasan perbatasan negara harus tetap dalam penguasaan negara sehingga perlu diberikan kepastian hak atas tanah.

Pulau-pulau itu menurutnya harus diupayakan tetap berada dalam penguasaan negara dan kebijakan pengelolaan wilayah akan diberikan kepada daerah atau masyarakat, namun harus mengacu kepada aturan perundang-undangan yang berlaku. Dia membenarkan sejumlah pulau-pulau kecil di Indonesia termasuk di NTT hendak dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu.

Data yang dimiliki BPN menyebutkan, terdapat 89 pulau-pulau kecil yang terletak di kawasan perbatasan negara termasuk yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang harus diberikan kepastian hak pengelolaan atas tanah di kawasan itu.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini telah membentuk tim khusus yang bertugas memberi nama pulau-pulau di Indonesia yang hingga kini belum punya nama. Di NTT terdapat 566 pulau yang terdiri atas 246 pulau yang sudah diberi nama, 320 pulau belum bernama dan keberadaan pulau-pulau itu mengindikasikan NTT memiliki garis pantai yang panjang dan tersebar.

Winoto mengatakan, ketika pemerintah memberi kewenangan pengelolaan pulau-pulau kecil maka terlebih dahulu memastikan tidak ada dampak ikutan yang mengarah kepada perbuatan merugikan kepentingan masyarakat. BPN, lanjut dia, tidak menghendaki adanya penguasaan pulau-pulau kecil oleh pihak tertentu tanpa kepastian hak atas tanah di pulau itu.

"Karena itu perorangan atau perusahaan tidak boleh diberikan kewenangan penuh untuk mengelola suatu pulau karena berkaitan dengan potensi wilayah pesisir di sekitarnya," katanya. Hanya, tambahnya, substansi pengelolaan pulau-pulau kecil itu harus dikaitkan program tata ruang nasional dan daerah agar tidak menyimpang dari rencana pembangunan yang terarah dan komprehensif.

Winoto mengaku, Undang Undang Pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan lainnya memungkinkan pengelolaan wilayah berdasarkan hak ulayat namun harus memenuhi sejumlah persyaratan. Persyaratannya antara lain keberadaan masyarakat adat, masyarakat adat itu hidup dan mengelola azet tersebut dan harus ada aturan adat-adat atas pengelolaan tanah itu.

Akhirnya kita dapat mengemukakan bahwa sebenarnya NKRI terancam oleh kebijakan-kebijakan para adidaya yang bersikap dan bertindak sebagai neo-imperialisme/neo-kapitalisme. Sama sekali mereka tidak memperdulikan nasib rakyat, bangsa dan negara ini, karena dengan memecah belah bangsa ini dan tuaduhan-tuduhan fitnah terlibat jaringan teroris, maka mereka terus berupaya untuk menguasai sumber daya alam serta pulau-pulau di perbatasan.

Ancaman kedaulatan NKRI yang datang dari luar dan "sekutunya" yang ada di dalam negeri ini terjadi bukan saja kedaulatan ekonomi, kesatuan dan kebersatuan wilayah saja, tetapi terutama juga masaalah kedaulatan hukum nasional kita. Sementara itu negara mono super power, AS tersebut sama sekali tidak mengakui dan menolak meratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional tersebut berkaitan dengan prinsip archipelagic state, negara kepulauan (Nusantara) seperti NKRI kita ini yang membatasi ruang gerak demi kepentingan dan kebijakan globalisasi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar