Beginilah Seharusnya Menjadi Pemimpin

Judul diatas terinspirasi dari sebuah buku dengan judul sama, Beginilah Seharusnya Menjadi Pemimpin : Kisah-Kisah Pemimpin Sejati. Buku karya Drs. Ahmad Yani ini, tidak bisa dikatakan buku yang besar karena memang dari sisi tampilan buku tersebut cukup kecil. Namun berisi berbagai kisah besar dari berbagai pemimpin Islam yang sukses menjalankan amanah kepemimpinannya karena menjalankan bagaimana seharusnya seorang pemimpin menjadi pemimpin. 

Ketika berbicara tentang konsep kepemimpinan dalam konteks kekinian dan kedisinian, sejatinya dapat mengambil inspirasi dan sumber referensi dari mana saja, termasuk Islam. Namun kadangkala konsep kepemimpinan yang Islami itu dikomentari sebagai sesuatu yang terlalu ideal, sesuatu  yang melangit, sehingga tidak mungkin diaplikasikan dalam konteks kehidupan nyata. 

Apalagi pada masa sekarang dimana jabatan kepemimpinan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang istimewa. Anggapan seperti itu tak sepenuhnya benar, sebab agama Islam adalah memiliki karakteristik al waqi’iyyah [agama yang realistis] sehingga sesuai dengan kondisi manusia, karenanya bisa dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Salah satunya dalam hal kepemimpinan Islami. Menjadi pemimpin, yang sederhana, melayani, dekat dengan rakyat, rendah hati, dan sebagainya bukanlah hanya teori diatas kertas atau sekedar dalil-dalil sakral, namun bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata saat ini. 

***

Suatu bangsa akan disebut sebagai bangsa yang maju manakala memiliki peradaban yang tinggi dan akhlak mulia, meskipun dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat sederhana. Dan untuk bisa mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin yang berkharakter, yang memiliki kemampuan untuk membawa dan mempengaruhi bangsa tersebut.

Dalam konteks ini, menarik untuk dilakukan kajian dan pencermatan terhadap pidato seorang pemimpin Islam Abu Bakar Ash Shidiq tatkala terpilih dan dilantik menjadi seorang khalifah. 

Dalam pidato itu beliau mengemukakan: "Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku." 

Dari pidato di atas, kita bisa menangkap keharusan seorang pemimpin untuk memiliki tujuh kharakter sebagai modal didalam menjalankan kepemimpinannya. Ketujuh kharakter tersebut adalah : 

1. Tawadhu 
Tawadhu, secara harfiyah diartikan sebagai rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya, Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap diri sebagai satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihat pun tidak mau diterimannya. Akibatnya ia akan memimpin dengan hawa nafsunya dan ini menjadi sangat berbahaya. Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah SWT sangat murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as. 

2. Menjalin Kerjasama 
Seorang pemimpin mesti siap menjalin kerjasama [koalisi] dengan pihak lain. Hal ini bisa ditangkap dari ungkapan Abu Bakar Ash Shidiq : “Maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku." 

Maknanya, kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah kerjasama dalam konteks kebaikan dan taqwa, sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dalam firman-Nya: "Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan." (QS 5:2). 

Seorang pemimpin tentu tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya sendirian, sehebat apapun dirinya. Bahkan atas pemahaman tersebut, Rasulullah SAW pun telah menunjukkan kepada kita bagaimana beliau menjalin kerjasama yang baik, mulai dari membangun masjid di Madinah hingga peperangan melawan orang-orang kafir, bahkan dalam suatu peperangan yang kemudian dikenal dengan perang Khandaq, Rasulullah menerima dan melaksanakan pendapat Salman al Farisi untuk mengatur strategi perang dengan cara menggali parit. 

3. Mengharap Kritik dan Saran 
Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, iapun mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya didengar, apapun yang dilakukannya akan mendapatkan liputan media massa yang luas. 

Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran. Hal itu ternyata tidak berlaku bagi seorang Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat: “Bila aku bertindak salah, betulkanlah." 

Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, sehingga saat Umar mengeluarkan kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia, dan ini membuat Umar harus mencabut kembali kebijakan tersebut. Kebijakan itu adalah memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak, karena bila tradisi itu terus berkembang hal itu bisa memberatkan para pemuda yang kurang mampu untuk bisa menikah. 

4. Berkata dan Berbuat yang Benar 
Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah SWT, hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam pidato Abu Bakar menekankan pentingnya hal tersebut: "Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat." 

Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain, dan akan merusak citra dan reputasinya [image and reputation]. Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya. Sebaliknya,  pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi. 

5. Memenuhi Hak-hak Rakyat 
Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya. Bila hak-hak tersebut  dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin wajib mengembalikan kepadanya. Karena itulah bagi Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari kekuasaannya. Kharakter pemimpin seperti ini tercermin dalam ungkapannya : “Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah." 

Dan ungkapan itu, tidak hanya menjadi untaian kalimat-kalimat yang indah dalam pidatonya, tetapi Abu Bakar buktikan dalam kebijakan-kebijakan yang dibuatnya sebagai seorang pemimpin. Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat, karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin. 

6. Memberantas Kezaliman
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain kepada rakyatnya pun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. 

Karenanya bagi Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap sebagai kecil dan lemah. Perhatikan ungkapannya : “Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah."

7. Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah 
Pemimpin sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk tunduk dan taat kepada Sang Maha Pemilik Kekuasaan, Allah SWT. Karenanya, iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya: “Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku." 

Dengan demikian, ketataan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak sebagaimana mutlaknya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, inilah diantara isyarat yang bisa kita tangkap dari firman Allah yang tidak menyebutkan kata taat saat menyebut ketataan kepada pemimpin (ulil amri) dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu." (QS 4:59). 

***

Tujuh karakter kepemimpinan [leadership] diatas menjadi prasyarat terbangunnya sebuah kepemimpinan yang efektif. Dengan kharakter tersebut, rakyat yang dipimpinnya akan patuh dan loyal. Apalah artinya seorang pemimpin tanpa kepatuhan dan loyalitas dari rakyat/pengikut [followership]. Laksana seorang panglima perang tanpa prajurit. Pemimpin yang berkarakter akan menjadikan ia sebagai suri tauladan. Hal yang langka ditemukan pada sosok pemimpin di bangsa ini pada tingkatan levelnya masing-masing. Suri tauladan pemimpin, kepatuhan dan loyalitas rakyat, kombinasi ideal bagi sebuah kepemimpinan. Ini akan membuat kepemimpinan berjalan efektif. Ditopang sebuah visi [vision] yang kuat dan terukur dari seorang pemimpin, maka akan menjadi modal yang kuat bagi keberhasilan sebuah kepemimpinan.  Beginilah Seharusnya Menjadi Pemimpin. 

Beginilah Seharusnya Menjadi a ini maju dan memiliki peradaban yang dapat dibanggakan. Beginilah Seharusnya Menjadi Pemimpin.Beginilah Seharusnya Menjadi a ini maju dan memiliki peradaban yang dapat dibanggakan. Beginilah Seharusnya Menjadi Pemimpin.

8 komentar:

  1. masya'allah ba'it demi ba'it bagus membawa ma'na dan penuh arti :)

    BalasHapus
  2. Saya bookmark dulu. Baca besok -insyaAllah, jika ada waktu rada senggang.

    BalasHapus
  3. dan sekarang kerinduan itu semakin menjadi

    BalasHapus
  4. dipresideni tuhan aja mas, manusia nggak ada yang sesempurna itu. yang realistis aja :D

    BalasHapus
  5. terima kasih atas tulisan nya

    BalasHapus